Indoborneonatural----Inilah kampung-kampung di Jakarta tempo dulu dan sekarang yang dikaitkan dengan masalah-masalah kontekstual yang dihadapi kampung bersangkutan. Khusus kampung-kampung di Jakarta dewasa ini bukan khusus pemukiman orang betawi saja, tetapi telah menjadi kampung dengan komunitas majemuk khas Indonesia. Bahkan di beberapa tempat, seperti di Kemang misalnya, kampung Betawi telah berubah menjadi kampung Internasional, karena adanya segala bangsa ikut berdiam dan berdomisili disini. Persoalan yang dihadapi kampung-kampung di Jakarta bukan lagi persoalan orang Betawi semata-mata, tetapi telah menjadi persoalan bersama, semua suku bangsa yang ada di sana.
Gambar: archive.kaskus.co.id |
Berikut inilah kampung-kampung di Jakarta dengan sejarang singkatnya yang semula milik betawi, sekarang menjadi kampung bersama, dengan istilah kampungmu,kampungku, yang harus kita jaga dan kita pelihara bersama;
1. Kalapa
Tahun 1527 diyakini sebagai tahun lahir kota Jakarta, Karena pada tahun itu, atau tepatnya tanggal 22 Juni, seorang ulama asal Pasai diperintah Sunan Gunung Jati untuk merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Peringgi. Orang Melayu menyebut Portugis dengan Peringgi. Nama tempat di Jakarta Utara bernama Perigi bukan dari padanan kata sumur, melainkan dari istilah Peringgi Portugis. Orang Peringgi, sesuai dengan perjanjian yang mereka buat dengan kekuasaan Sunda Pajajaran, memperoleh hak pengelolaan pelabuhan Sunda Kalapa.
Gambar: www.fotografer.net |
Kalapa sendiri adalah nama bandar. Bagi kerajaan Pajajaran yang berlokasi di pedalaman tubuhnya pohon kelapa di sepanjang pantai mulai dari Marunda sampai Teluk Naga merupakan panorama yang menarik. Besar kemungkinan bandar itu sudah bernama Kalapa yang pemberian namanya oleh imigran Melayu Kalimantan Barat, Penguasa Pajajaran di Pakuan mempopulerkannya dengan menamakan pelabuhan yang dikuasainya sebagai Sunda Kalapa.
2. Rasamala
Saat kompeni Belanda masuk Kalapa, ternyata bandar ini masih didominasi hutan Rimba. Bontius, seorang dokter VOC yang meninggal pada tahun 1631 dalam Buku Historiae Natural & Medicae Indiae Orientalis menulis, Batavia penuh dengan pohon Indische Eik, Jati Hindia. Pakar lain bernama Junghun kemudian mencatat, jenis jati lain yang tumbuh di Batavia adalah Rasamala. Tetapi penduduk tidak pernah menebang pohon ini karena dianggap keramat. Babakan (kulit Kayu) Rasamala dapat dijadikan setanggi karena harum baunya. Itulah sebabnya tempat-tempat yang banyak ditumbuhi pohon Rasamala disebut Kampung Kramat.
3. Kali Besar
Berkaitan dengan kata keterangan "Besar", di Jakarta-Pusat ada tempat bernama Sawah Besar, bukan Sawah Gede. Seperti halnya Kali Besar, bukan Kali Gede. Lalu ada Cililitan Besar, di samping itu ada Cililitan Kecil. Tidak jauh dari Cililitan ada Pondok Gede, bukan Pondok Besar. Ke arah selatan menuju Bogor kita menjumpai kawasan berbahasa Betawi yang disebut Bojong Gede, bukan Bojong Besar.
Gambar: luk.staff.ugm.ac.id |
Kali besar sudah bernama seperti ini jauh sebelum kraton Jayakarta berdiri. Kraton Jayakarta berlokasi di tepi barat Kali Besar. Batas selatan adalah rawa-rawa yang disebut Roa Malaka, batas timurnya adalah kali itu sendiri, batas utaranya adalah Jl. Pakin sekarang, dan batas baratnya adalah Jl. Pejagalan. Pada tahun 1740 jalan Pajagalan menjadi amat terkenal karena tidak kurang dari 5000 orang Tionghoa dijagal Belanda dalam rangka pemumpasan huru-hara Tionghoa, yang juga terkenal sebagai peristiwa Chinezenmoerd.
4. Tanjung Priok
Menurut khazanah Melayu lama, priok dapat juga berarti keranjang untuk menangkap ikan. Benda ini dalam istilah betawi disebut bungbung. Adapun tempat menyimpan hasil memancing ikan disebut korang.
Gambar: photobucket.com |
Tanjung adalah tanah yang menjorok ke laut. Di pantai Jakarta terdapat tiga tanjung, yaitu Tanjung Kait di dekat Kampung Mauk, Tangerang, Tanjung Pasir dekat Teluk Naga, dan Tanjung Priok. Tanjung Barat, Tanjung Timur, dan Tanjung Duren adalah plesetan dari tunjunga, Bukit kecil. Padanan kata tunjung dalam khazanah Betawi adalah MUNJUL. Di pinggir Jakarta ada tempat bernama Munjul. Munjung juga padanan tunjung, seperti halnya mentung. Hanya saja penggunaannya berbed. Munjung dipakai untuk menerangkan urukan benda padat yang melampaui takaran dan kapasitas absorbsi wadah. Menyendok nasi ke piring sehingga "membukit" disebut sepiring mentung, tetapi urukan pasing yang "menggunung" disebut munjung.
5. Marunda
Marunda adalah nama lama yang seumur dengan Ancol, Angke, dan Kalimati. Untuk melacak arti kata ini harus diperiksan dalam khazanah Sansekerta, atau mencari sumber imitasinya di India. Bangunan lama yang tersisa di Marunda adalah Mesjid Al A'lam dan bungunan yang dianggap bekas rumah si Pitung.
Gambar: 2.bp.blogspot.com |
Menurut penelitian Dinas Meseum dan Sejarah DKI Jakarta Tahun 1985, rakyat Marunda yang asli Betawi itu masih melaut setiap subuh, memakai jaring dan bukan lagi jala atau pancing. Penggunaan sero sebagai alat penagkap ikan masih berlaku. Bambu yang dianyam itu ditancapkan di hari subuh, berdiri sekitar 1,5 mil dari pantai. Usai bertugas, siangnya hasil tangkapan dijual ke pelabuhan lama Kali Baru kepada pelele (tengkulak ikan), atau diasinkan untuk keperluan sendiri (Kompas, 12 Mei 1986). Begitulah kehidupan nelayan Marunda mewarisi tradisi leluhur sejak sepuluh abad yang lalu.
6. Planet Senen
Kawasan Senen di tahun 1950-an mengesankan untuk dikenang. Tahun-tahun sebelumnya ini merupakan front menghadapi tentara Belanda yang berbasis di lapangan Banteng. Senen benar-benar menegangkan. Tapi setelah itu Senen sangat exciting, menggairahkan. Bioskop Rex dan Grand memutar film-film koboi, banyak penjaja di siang dan malam hari. Mau penganan seperti apapun dapat dibeli di sini. Apalagi es Shanghai yang segar dan lezat, Senenlah tempatnya. Kegiatan intelektual pun sangat meriah, pusat penjualan buku-buku ada di sini, tersedia baik buku-buku baru maupun buku bekas. Ada restoran Ismail Merapi tempat berkumpul seniman tersohor yang bergerak di rupa-rupa bidang kesenian.
Gambar: Aneka Berita - WordPress.com |
Nama senen berasal dari nama yang diberikan Belanda pada pasar ini Snezen, yang artinya barang gelap, bekas, dan rongsokan dijual di sini. Sebelum Belanda mendirikan pasar di akhir abad ke-18, daerah ini sudah bernama senen. Disebutkan juga sekitar tahun 1656, ada orang pulau Lontor, Indonesia Timur, bernama Cornelis Senen datang ke Batavia, lalu pada tahun 1656 membeli kebun kopi di tepi kali Ciliwung. Tuan tanah Corenelis Senen ini sangat mungkin membeli tanah yang kemudian bernama Senen ini.
7. Meester Cornelis
Secara administratif Meester Cornelis terpisah dengan Batavia. Masing-masing dipimpin oleh regent sendiri. Cornelis Senen adalah tuan tanah yang pada 1656 membeli tanah perkebunan kopi di situ. Ia dikenal dengan panggilan Meesterl Cornelis, maka namanya diabadikan sebagai nama tempat yang kemudian terkenal sebagai Mester . Daerah yang kemudian dikenal sebagai Cawang, secara administratif merupakan afedeling, cabang, dari Mester.
Perubahan konsonan "b" dan "w" terjadi dalam pengucapan. Memang ada perkiraan yang berbunyi demikian, karena Mester adalah kampung Melayu, maka di daerah yang sebut Cawang itu tinggal seorang Melayu yang disebut 'Nce Awang. Entah apa pekerjaan orang ini sehingga namanya,'Nce Awang, menjadi nama kampung Cawang. Jika mengikuti dugaan ini niscaya nama kampung Ceger yang ada di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan Juga berasal dair orang Melayu yang namanya 'Nce Ger.
8. Dukuh
Sekarang Jl. Sudirman mempunyai viaduct, jalan kolong. Kawasan di sekitar Sudirman menjelang Bukit Kebayoran disebut Dukuh, yaitu lingkungan yang lebih kecil dari desa. Kalau dewasa ini orang menulis Dukuh dengan Duku (tanpa "h") hal itu karena ciri linguistik bahasa betawi yang mengauskan huruf "h" baik yang ada dipangkal maupun ujung kata. Misalnya habis menjadi abis, gurih menjadi guri. Jadi Duku bukan berasal dari nama buah duku.
Kawasan yang kini disebut Setiabudi dulunya bernama Dukuh Atas, daerah sekitar Jl. Teluk Betung dan Jl. Blora bernama Dukuh Bawah. Lalu ada kampung dekat Karet Kubur yang disebut Dukuh Pinggir. Dukuh Atas dan Dukuh Bawah dipisah kali Malang. Penghubung kedua kawasan itu di jaman dulu adalah jembatan gantung yang alasnya dari papan dianyam kawat. Waktu itu sangat mengerikan melewati jembatan ini, hingga tahun 1948 "pemerintah federal" bentukan Belanda membangun jembatan beton yang rampung pada tahun 1949.
9. Kali Lio
10. Dari Papango sampai Cibinong
11. Serpong
12. Pegangsaan
13. Utan Pitik
14. Bukin Kebayoran dan Bulak Cabe
15. Sumur Batu
16. Manggarai
17. Menteng Raya 31
18. Margonda
19. Ciputat
20. Koja
21. Jembatan Metro
Secara administratif Meester Cornelis terpisah dengan Batavia. Masing-masing dipimpin oleh regent sendiri. Cornelis Senen adalah tuan tanah yang pada 1656 membeli tanah perkebunan kopi di situ. Ia dikenal dengan panggilan Meesterl Cornelis, maka namanya diabadikan sebagai nama tempat yang kemudian terkenal sebagai Mester . Daerah yang kemudian dikenal sebagai Cawang, secara administratif merupakan afedeling, cabang, dari Mester.
Gambar: upload.wikimedia.org |
8. Dukuh
Sekarang Jl. Sudirman mempunyai viaduct, jalan kolong. Kawasan di sekitar Sudirman menjelang Bukit Kebayoran disebut Dukuh, yaitu lingkungan yang lebih kecil dari desa. Kalau dewasa ini orang menulis Dukuh dengan Duku (tanpa "h") hal itu karena ciri linguistik bahasa betawi yang mengauskan huruf "h" baik yang ada dipangkal maupun ujung kata. Misalnya habis menjadi abis, gurih menjadi guri. Jadi Duku bukan berasal dari nama buah duku.
Gambar: i0.wp.com |
9. Kali Lio
10. Dari Papango sampai Cibinong
11. Serpong
12. Pegangsaan
13. Utan Pitik
14. Bukin Kebayoran dan Bulak Cabe
15. Sumur Batu
16. Manggarai
17. Menteng Raya 31
18. Margonda
19. Ciputat
20. Koja
21. Jembatan Metro
Baca lagi lainnya selengkapnya di sini !!