Indoborneonatural----Pohon jingah banyak tumbuh di lokasi yang dekat dengan sumber air seperti di pinggiran sungai, danau dan rawa. Salah satunya sering kali dijumpai disekitaran pinggiran Sungai Barito dan juga Kahayan.
Jenis pohon ini sebetulnya merupakan pohon yang mampu menhasilkan kayu dengan kualitas bagus. Hanya saja pohon Jingah termasuk pohon yang cukup ‘ditakuti’, dan membuat orang enggan dan tidak berani mendekatinya.
Alasan pohon Jingah ini dijauhi tak lain karena takut terkena getahnya. Apabila seseorang terkena getah dari pohon Jingah, maka akan menimbulkan reaksi alergi pada kulit. Seluruh badan orang yang terkena getahnya akan terasa gatal dan panas seperti terbakar.
Selanjutnya akan diikuti dengan perubahan warna kulit menjadi memerah dan bengkak. Alergi akibat getah Jingah ini menurut kebiasaan orang-orang tua dulu akan sembuh jika diobati dengan pucuk Putat (Planchonia Valida BI).
Walaupun pohon Jingah ini bisa menimbulkan alergi, namun manfaatnya terbilang patut untuk dilirik. Selain menghasilkan kayu berkualitas, pohon-pohon ini pun bahkan sangat disenangi oleh lebah sebagai tempat bersarang.
Apabila banyak lebah yang bersarang, tentunya masyarakat sekitar pun bisa memetik manfaat yakni dengan mengambil madu-madunya.
Hal inilah yang terlontar dari mulut Wali Kota Palangka Raya HM Riban Satia pada saat mengukuhkan Pokmawas Perikanan di Aula Peteng Karuhei (PK) II, Kamis (28/4).
Riban bahkan mencetuskan, pohon-pohon Jingah nantinya akan dibuatkan Peraturan Daerah (Perda). Perda yang melarang untuk menebang pohon Jingah tanpa izin.
Pasalnya, orang nomor satu di Palangka Raya ini mengaku bahwa pohon Jingah bisa dijadikan sebagai pohon lindung. Selain juga disenangi lebah untuk bersarang.
“Pohon Jingah yang ada di Palangka Raya khususnya, akan kita jaga.Tidak boleh diganggu, biar besarnya seberapapun tetap akan kita pelihara. Pelarangan penebangan tanpa izin itu pun akan kita buatkan dalam Peraturan Wali (Perwali). Kemudian baru kita tuangkan ke Perda,” papar Riban, Kamis (28/4).
Ia juga mengatakan, ke depan pihaknya akan berusaha menanam Jingah-jingah baru. Di mana di bawah pohon Jingah tersebut dibuat sebuah kolam kecil, yang digunakan untuk menampung ikan pada saat air pasang.
Saat musim kemarau kolam-kolam itu bisa dijadikan kolam alam oleh masyarakat dan ikannya dapat dipanen. Menurut pengamatan selama ini sambung Riban, jika musim kemarau ikan di keramba-keramba yang ada di sungai biasanya akan terganggu karena airnya tidak mengalir.
Penyebab lainnya juga adalah endapan pakan ikan, yang kemudiannaik kepermukaan. Endapan pakan ikan yang naik ke permukaan inilah membuat oksigen air tidak baik. Sehingga sering kali ditemukan ikan-ikan dalam keramba mati ketika kemarau.
Di bawah pohon Jingah pun sambungnya, bisa ditanami rotan yang merupakan kategori tumbuhan yang mampu hidup di daerah air. Di mana rotan muda (umbut) ini bisa dijual untuk dijadikan sayur.
“Tanpa disadarai pohon Jingah ini memberi manfaat besar dalam hal mendongkrak ekonomi kerakyatan masyarakat Kota Cantik,” ucapnya.
Penanaman pohon Jingah tersebut, akan mulai dijalankan pada tahun ini juga terang Riban. Namun penanamannya masih dalam skala kecil terlebih dahulu. Karena pihak Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya masih perlu mencari siapa yang memiliki lahan di pinggir sungai.
Dalam Hikayat Banjar Resensi I beberapa kali pohon jingah ini disebut dalam narasi cerita diantaranya:
“Maka rakyat Pangeran Samudra itu tiada beroleh bermara itu, sukarlah kerana sungai kipit, bermandak di muara-hulak Negara-Daha itu. Maka bertiup angin ribut serta hujannya, maka lalaju dan umbul-umbul dan tatunggul wulung wanana putih Pangeran Samudra itu rebah, tiada terkajai oleh yang memegang. Maka rakyat Pangeran Samudra yang berperang itu banyak mati, hendak kawalahan. Maka kata Patih Masih: “Tabangakan kaju (kayu) djingah yang bujur-bujur itu, tajak akan mahugarakan tatunggul wulung wanara putih itu.” Sudah itu maka dikerjakan orang seperti kata Patih Masih itu, tiada rebah tatunggul wulung wanara putih-putih itu. Maka mengkot pula perangnya rakyat Pangeran Samudra itu; kawalahan rakyat Pangeran Tumanggung itu, masih ditegurnya oleh rakyat Pangeran Samudra itu. Maka banyaklah mati rakyat Pangeran Tumanggung itu. Banyak tiada tersebutkan”.
Berikutnya : “Maka anak kayu djingah yang tempat maugar tatunggul wulung wanara putih tatkala rabah kena angin ribut, djingah itu hidup. Dinamai Tunggul Mata Wulung itu. Masih membawa tanda: lamun dahannya itu tiada angin maka ripah sendirinya itu alamat ada para dipati mati lamun pucuknya ripah sendirinya itu alamat raja mati. Itu tandanya dahulu sampai pada sekarang ini. Maka Negara-Daha itu menjadi desa bernama Negara itu, sampai pada sekarang ini. Lamun djingah itu ripah tahulah orang Negara itu ada para dipati atau para menteri-menteri mati itu”.
Dalam Resensi II tentang pohon jingah ini juga disebutkan dalam narasi tentang peristiwa pembunuhan raja yaitu : Pangeran Tumanggung amat pakar dalam bidang wayang, topeng, baksa dan gambus. Suatu hari, ketika beliau bermain wayang lakon Perang Jaya, pada saat cerita hampir mencapai puncaknya, beliau ditikam oleh salah seorang suruhan Sukarama, yaitu pembakal Mardata Nagara. Orang ini berpura-pura mengatakan ia dalam bahaya dan meminta perlindungan dalam istana. Bila pembunuh ini berenang menyeberangi sungai, datang kepada Pangeran Sukarama, beliau dibunuh oleh Sukarama dengan kerisnya sendiri. Sukarama pura-pura pula marah atas kejadian itu. Suatu kegemparan telah berlaku, diikuti pula oleh bencana alam semula jadi. Puncak pohon jingah di Chandi Agung patah. seperti yang biasa berlaku apabila seorang raja agung mangkat.