Indoborneonatural---Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Tana Toraja yang berada diKabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale secara geografis terletak di bagian Utara Provinsi Sulawesi Selatan, Orang-orang Tana Toraja Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Menurut mitos - kisah yang diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).
Nama Toraja pertama kali diberikan oleh Suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai "Riaja" (orang yang mendiami daerah pegunungan). Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang mendiami daerah barat).
Rumah adat Tongkonan di Tana Toraja |
Versi lain mengatakan bahwa Toraja dari kata "Toraya" (Tau: orang, dan raya atau maraya: besar), gabungan dua kata ini memberi arti "orang-orang hebat" atau "manusia mulia". Berikutnya istilah yang lebih sering dipakai adalah sebutan Toraja, kata "tana" sendiri berarti daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.
Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.
Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan musim tanam dan panen.
Masyarakat Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi batangnya. Di sepanjang jalan akan Anda temui padi dijemur dimana batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya.
Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara atas rumah adat yang baru direnovasi.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’.
Upacara Adat Rambu Solo |
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Rambu Solo sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih. Semakin tinggi strata sosial sebuah keluarga, semakin besar biaya yang harus dikelurkan untuk upacara adat Rambu Solo. Kerbau yang dipotong bisa sampai 150 ekor, acaranya bisa tiga hari tiga malam.
Upacara Adat Rambu Solo |
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Demikian tentang upacara adar Rambu Solo' di Tana Toraja Sulawesi Selatan, semoga bermanfaat, silakan berkunjung dan berwisata ke Tana Toraja Sulawesi Selatan. Terimakasih.
0 komentar:
Post a Comment