MENGENAL SUKU BANGSA DANI DENGAN UPACARA ADATNYA YANG UNIK

Suku_Primitif, Adat_suku_Dani_, Budaya_Dani
Indoborneonatural---Sebagian dari kita mungkin tidak mengenal suku bangsa Dani, karena memang suku bangsa Dani tidak sepopuler dan tidak kita dengar namanya sesering suku bangsa lain; seperti Suku bangsa Jawa, Batak, Ambon, Banjar ataupun Asmat yang dekat dengan mereka. Tetapi jika kita benar-benar perhatikan di media massa memang sering diulas tentang suku yang masih primitif ini.Secara singkat, suku bangsa Dani terdapat di daerah pegunungan Jayawijaya yang terbentang di suatu lembah besar, yaitu Lembah Baliem yang memanjang dari arah barat ke timur. Panjang lembah ini kurang lebih 45 km dan lebarnya 15 km, tempat yang dihuni manusia pada ketinggian 1600 - 3000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 14,4 Derajat Celcius.

Sebenarnya sebutan orang Dani adalah sebutan untuk menyebut penduduk yang bermukim di Lembah Baliem yang sebenarnya bukan berasal dari lembah itu, tetapi merupakan sebutan Moni penduduk Dataran Tinggi Pinai untuk menyebut pendudul Lembah Baliem. Sebutan Dani artinya orang asing, yang mula-mula berbunyi Ndani istilah tersebut dipakai oleh suatu ekspedisi yang terdiri atas orang Amerika dan orang Belanda yang mengunjungi daerah tempat tinggal orang Moni dalam tahun 1926 (Heider : 1979). Setelah mengalamai proses perubahan dalam kurun waktu yang cukup panjang maka fonem "N" hilang, sebutan menjadi Dani dan termasuk kepustakaan etnografi.

Penduduk Lembah Baliem sendiri tidak mau menggunakan sebutan Dani tersebut, tetapi mereka menyebut dirinya dengan sebutan Nit (akuni) Palimeke yang artinya kami (orang) dari Baliem (J.A.E  Camps, 1972:82) Seluruh penduduk Lembah Baliem mengucapkan dengan satu bahasa, yaitu bahasa Dani.


Bahasa yang Digunakan Suku Dani

Penduduk Lembah Baliem mengucapkan dengan satu bahasa, yaitu bahasa Dani. Bahasa Dani terbagi menjadi tiga sub bahasa yaitu bahasa Wano, bahasa Pusat dan bahasa Nggalik Dugawa. Dan Pusat masih terbagi menjadi dua loga yaitu logat Dani Barat dan logat Lembah Besar Dani. Logat Dani Barat sering disebut bahasa Laony, dan diucapkan oleh penduduk di Baliem Utara, Lembah Swart, Yano, Nogolo, Ilagu, Beoga, Dudindagu, Kemandagu, Bokondini, Bangun atas ada lembah besar sekitar hulu sungai Hablifuri, sungai Kimbin dan Lembah Bele (Ibele), Lembah besar Dani mulai dari daerah pegunungan Piramida atas Lembah Besar Hunggu ke sungai Samenage di Daerh perbatasan barat laut dan agak ke bawah sedikit, sungai Wet di daerah batas Timur Laut. Bahasa Dani termasuk ke dalam ketegori Western Highland Phylum, yakni salah satu keluarga bahasa nonaustronesia di Irian Jaya dan Papua Nugini.

Seperti penduduk Papua lainnya, suku bangsa Dani juga termasuk ras Melenesia dengan bentuk tubuh yang lebih pendek dan tegap, seperti penduduk di pegunungan tengan papua pada umumnya.Tinggi rata-rata pria suku bangsa Dani adalah 157 cm dan wanitanya rata-rata 145 cm (O. Brein:1969).Orang Dani Perkirakan menempati Lembah Baliem sejak kurang lebih 24.000 tahun sebelum masehi, sedang K. Heider (1979:23) berpendapat bahwa suku bangsa Dani mulai mengenal pertanian dan peternakan kira-kira 7.000 tahun sebelum masehi. Cara hidup suku bangsa Dani sebelumnya diperkirakan sebagai peramu sagu di rawa-rawa di tepi pantai. Mereka kemudian pindah di tanah kering di pedalaman, tempat yang sekarang, dan mulai bercocok tanam pisang dan keladi.


Sistem Kekerabatan Suku Dani

Sebelum kita lanjutkan dengan sistem kekerabatannya. kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh orang Pariem menunjukan keadaan di satu pihak menuju ke arah unilateral-partilineal, di lain pihak unilateral-materilineal. Sebagai contoh adalah kehadiran seorang paman atau ami yang selalu adik dari ibu yang mendidik silimo. Seorang ayah pun bertanggung jawab mewakili kepentingan-kepentingan keluarga di luar silimo. Artinya, ia bertanggung jawab kepada keponakannya atau anak-anak saudara perempuannya. 

Dalam pembagian warisan berlaku sistem partilineal. Akan tetapi, seorang ibu Waya dapat mewariskan ke-Waya-annya kepada anak laki-laki melalui upacara inisiasi.

Perkawinan bersifat eksogami-klen atau sub-klen. Artinya, dari klen induk sudah terbentuk beberapa sub-klen yang baru. Antara sub-klen ini dapat saling mengawini. Misalnya klen A menurunkan sub-klen AA dan AB, pasangan dan sub-klen AA dan AB dapat menikah. 

Pawi adalah istilah untuk incest atau perkawinan yang dilarang, yang perkawinan antarkan yang sama, atau juga konsep incest yang berlaku secara universal. Perbuatan incest dipercayai akan mendatangkan berbagai bencana misalnya kalah perang, wadah penyakit, ketidaksuburan tanaman, ternak dan sebagainya.

Relasi kekerabatan sangat penting, sehingga antar anggota masyarakat terdapat sapaan-sapaan yang merupakan ucapan salam yang biasanya dijawab Misalnya seorang anak remaja menyapa Napose yang berarti berarti ayahku, akan dijawab oleh orang yang lebih tua dengan Nabut (naput) yang berarti puteraku Contoh lain perhatikan daftar berikut ini :

Naklogo - napose  = Puteri - anakku
Nagosa - neak       = Ibuku - anakku
Noe - nagot            = kakaku - adikku
Nayak - neroup      = temanku - saudara/i ku


Sistem kepercaan atau religi suku Dani

Ada suatu kepercayaan yaitu orang Baliem beranggapan bahwa pernah ada suatu kehidupan yang sempurna. Namun, suasana itu berubah. Semua makhluk kemudian menjadi saling berkelahi, saling membunuh dan kehidupan jadi tidak setabil seperti sekarang.

Menurut Myron Bromley, dalam bukunya Kebudayaan Jayawijaya (1993), kini orang Baliem hidup dalam dunia dalam dunia yang telah retak dan rusak, maka upaya mereka adalah bagaimana sisa-sisa suasana yang baik dan nilai hidup yang baik itu dapat dipertahankan dan zaman firdaus yang hilang itu dibangun kembali. Dampak itulah yang mereka usakan untuk dibangun kembali demi hubungan baik dengan pencipta walhowak yang meliputi suken, hareken kaneke dan para leluhur melalui tugi, langit ,bumi dan matahari sebagai unsur kosmos. Usaha menuju keserasian atau tosemese dan alam gaib atau okkulus, serta sesama manusia. Dengan demikian, unsur kebersamaan merupakan cita-cita dan tujuan perjuangan hidupnya.


Benda-benda Keramat yang di Percaya Suku Dani

Benda-benda keramat dimaksud sebagai benda-benda pusaka warisan leluhur yang pada dirinya mengandung kekuatan dan dengan kekuatan itu dapat mempertemukan manusia dengan obyek kepercayaan di luar dirinya dan atau masyarakat selingkungannya. Adapun benda-benda keramat itu adalah :

a. Tugi

Tugi adalah kayu pemukul, atau juga diartikan sebagai bulan atau proses penyesuaian utang piutan. Istilah tugi, khususnya yang dipakai di Baliem Selatan (Tangma) dan sekitarnya, adalah untuk memperingati dan mengadakan pembunuhan balas dendam terhadap klen atau pasangan suku musuh. Dalam kaitan fungsi ini tugi dilakukan demi kesuburan ekonomis (babi, tanah, tanaman), regenerasi (kalangan hidup), perkawinan (kesuburan reproduksi manusia) dan upacara adat atau inisiasi, Benda keramat tugi itu berbentuk batu Ye atau merupakan pahatan batu atau kapak batu yang tipis dan yang tersimpan dalam lemari keramat atau di honai

b. Su-kepu hareken/kaneke/tunggan

Istilah teknis Su-kepu terdiri dari du kata benda : Su yang berarti noken (sejenis tas rajutan) dan kepu yang berarti roh/orang abadi (pencipta yang buha roh halus). Menurut orang Baliem di Tangma dan sekitarnya, Su-kepu mempunyai maksud sakral sebagai simbol adanya hubungan manusia dengan penciptanya. Orang di lembah Baliem utara menyebutnya

dengan istilah Tungga. Su-kepu kareken/kaneke/tunggan disimpan dalam honai pria di beberapa lemari (kakok), mulai dari yang paling muda usianya sampai dengan yang paling tua usianya.



Upacara-upacara Penting

Bagaimana dengan upacara-upacara ritual yang lazim di lakukan? Ada beberapa upacara penting yang terjadi di suku Dani, yakni :

a. Nesok aji, bertujuan memperkuat akar pertumbuhan dan memperkokoh atau memperlancar hubungan antara manusia, alam dan leluhur.

b. Wako, menghalau penyakit dan membebaskan tanaman serta tumbuh -tumbuhan lainnya dari serangan hama.

c. Agat wesa, meneguhkan kesucian tanah dan pohon supaya menghasilkan panen yang melimpah

d. Musan awen, mohon agar lemak kesuburan dilipatgandakan.

e. Oka isago, tanda yang memperlihatkan hubungan antara tanah dengan manusia dalam batas wilayah tertentu.

f. Syilo, larangan bagi manusia :
- memiliki kekuatan tertentu
- menjaga kelahiran anak
- seorang gadis yang belum boleh didekati
Sedang larangan bagi tumbuhan :
- memberi kesempatan kepada hutan untuk tumbuh menjadi besar
- panen belum matang
Bentuk tanda ini sangat sederhana, yakni seikat rumput diletakan di tepi hutan.

g. Pawi, tindkan pelanggaran seks dengan sesama klen dari belahay ang sama atau menyimpang dari tata cara mengatur kaneke. Perbuatan mengacam kesuburan hidup manusia harus ditebus atau dibebaskan dengan upacara mawusan, yaitu membersihkan diri dari pencemaran pawi. Bila seseorang mengancam kehidupan bersama, maka pembersihan dilakukan secara bersama-sama.

h. He Yokal, dalam perkawinan orang Baliem, perhatian lebih dititikberatkan pada wanita. Wanita dihormati sebagai sumber kesuburah; ia menyimpan misteri yang tak dapat diselami oleh kaum pria. Seorang gadis melepaskan busana gadisnya dan diganti busana ibu yokal merupakan lambang pengakuan keibuan seorang perempuan sebagai sumber kesuburan keluarga dan masyarakat.

Demikianlah artikel dan ulasan tentang masyarakat suku primitif yang berada di lembah Baliem. Indonesia memang cukup kaya dan majemuk dengan suku bangsa, budaya dan bahasa yang diwarnai dengan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Sumber : 
Edi Siregar. dkk. 1993. Buku Pintar Budaya Bangsa. Jakarta : PT Aksan Media Agung
Koentjaraningrat 1994. Pengantar Antropologi. Jakarta : Aksara Banu
Maas, D.P. 1985. Buku Materi Pokok Antropolig Budaya (Modul) Depdikbud UT.
Endang Supardi. 2004. Antropologi. Bandung : CV. Lubuk Agung

CULTURAL SOCIETY RIVER CENTRAL SOUTH KALIMANTAN

Indoborneonatural --- Life Banjar in South Kalimantan closely with the culture of the river, as illustrated in Banjar traditional settlement on the outskirts of the river and the floating market activity (floating market). Berbanjar elongated housing built on the riverbank, and this area is called the "banjar".

Banjar traditional settlement can be found in an area crossed by rivers large and small, such as along the Barito River with its subsidiaries include Nagara River, River Paminggir and Martapura River. Along the Nagara River with its tributaries, among others Tabalong River Left, Right Tabalong River, River Balago, Sungai Batang Alai, Amandit River, and the River Tapin. Barito River tributary empties into the Java Sea, while other rivers such as Slippery Rock River, River Tabanio, Sungai Asam-asam, Kintap River, and the River Bangkalaan are rivers that empty into the Java Sea and the Makassar Strait.

Among the many rivers that, the most important watershed in the history of Banjar is Tabalong river and the river Martapura. The concentration of settlements are along the river from Tabalong, Exodus, Alabio, Banar River, Amuntai, Babirik, Nagara, Rampiau Muara, Muara Materials up to Banjarmasin (Saleh, 1986).

Settlement terms defined language as a living area that can be defined as the unit area social and cultural life of a society and ecologically is an interaction region to cultivate the potential of the natural environment.

Settlement communities along the river are usually inhabited by local communities (community) or a population that occupies an area characterized by a unique identity as kinship groups, known as stamp. Therefore, community villages along the river are usually called by the name of the place they are generally on the banks of the river, like the Nagara, the Barito, the Alabio, the Amuntai, or stamp River Jingah, stamp River Mesa, stamp Alalak, and so forth.

Various settlements along the river Martapura Tabalong and then also serves as a river port which later also became royal centers such as Tanjung Puri, Country Dipa, State Daha, and Bandarmasih (Banjarmasin). As the Sartono Kartodirjo et al (1975) downtown royal government, the city and the market are the three functions of the area where the royal establishment on the banks of the river and the coast.

So many rivers that drain the geographic region of South Kalimantan, making the river becomes contribute to community life Banjar South Kalimantan in particular and the general. Because the role of being a vehicle for cross-river transport, and communication between remote areas with local riverbanks and coastal areas. Similarly river formed through interactions between the human diversity of ethnic, religious, cultural and economic background. Interactions between humans thus, in turn forming relationships that are economic, socio-cultural, and political.

Sungailah awoke from human interaction that produces a river culture or culture of people who are influenced by the environment of the river. Understanding the culture of the river includes a way of life, behavior, and adaptation of human beings who live on the edge of the river, it has become a tradition that is carried from generation to generation (Hartatik, 2004).

One form of the culture of the river is the floating market (floating market), which still exists today in the village Kuin, Banjarmasin and particularly in the Lok Baintan, Banjar district. The existence of floating market is inseparable from the culture of the river Banjar tribe. Because the river for Banjar people, especially those living on the banks along the river, not only as a place transportation flow or movement of people, but a trade commodity marketing and fulfillment household needs, such as drinking, bathing, and others.

Kuin floating market presence can be traced since the advent of the royal palace on the outskirts of Banjar Kuin river. Keraton formerly always not far apart the city, the main square, and the mosque. Airports in the Sultanate of Banjar first is at the mouth of the river Kuin. This is where there is interaction between sellers and buyers in the form of buying and selling on a boat, or between people living on the outskirts of the river with boating merchants. It can be said, that the existence of floating market can only be examined from the cultural aspects of the river, which produces human behavior in addressing economic needs, and were based on domination of the transport boat on the river, thus forming buyer and seller interaction center, known as the floating market.


Their dominance of transport by river is the deciding factor sustainability of the floating markets, both in Kuin and Lok Baintan today. If the first people of the city of Banjarmasin attached to the transport stream, so as to instil a culture floating market or the number of people who peddle wares by boat. However, when the orientation of trade economic activity moved from the river to the land area, along with the improvement of transport cross the road around the floating market, the activity is now in Muara Kuin floating market began to fade; not as busy as the first again.

According Idwar Saleh M. (1986) with the establishment of concentration of population settlement patterns berbanjar along river banks, the main factor is the river. River for residents who live on the banks of the river to meet the needs and defend their lives, both from the aspect of transport and mobility, economic, social, cultural, and political. From the concentration of people and their interaction with the river, it gives birth to the culture of the river. Banjar community life evolved over the river which makes the characteristics and culture of Banjar.
Associated with the transport stream, since time immemorial Banjar people own and control the boat building technology in various forms and types of purposes both for the river, the beach and the ocean. The ability to instantly make people have a tradition of sailing Banjar well as sailors, fishermen and traders among islands (interensuler).

The ability to have, mastered the technology of making the boat and their tradition of sailing and trade between islands with traditional boats is what makes the Banjar has a high mobility, sailing from one island to another, went to the holy land, along the river until far into the interior, or migrate to looking for a new settlement.
Boat building technology mastery is reflected as reflected in the diversity of the river transportation boats or boat / canoe in various types and function. Jukung Banjar in the form and process of how pembikinannya known that there are three kinds, namely Jukung Sudur, jukung Patai and Jukung Batambit.

While the boats according to their functionality can be seen as a means of transport, to sell or trade, fishing, mining of sand and stones, transporting agricultural products, transportation and other services, even as well as residence owners. The various functions of boats that can be described as follows, namely (a) Jukung Pahumaan, (b) Jukung Paiwakan, (c) Jukung Paramuan, (d) Jukung Palambakan, (e) Jukung Pambarasan, (f) Jukung Gumbili, (g) Jukung Pamasiran, (h) Jukung Beca Banyu, (i) Jukung Getek, (j) Jukung Palanjaan, (k) Jukung Rombong, (l) Jukung / Boats mining, (m) Jukung Undaan, (n) Jukung Tiung. Besides jukung Banjar people usually use "klotok", the boats are quite large and equipped with a motor as a driving force, as well as the water bus, and speed boat for passengers and goods mengakut basic needs.

In terms of the settlement, the form of settlement in the river environment linear patterned always follow the flow of the river and the houses are always facing the river. Along the Barito River area still encountered Marabahan old houses or traces pole berbanjar building frame house overlooking the river, as since time immemorial river has become the lifeblood. Even now along the river, especially the Barito River, Rivers State, Amandit River, River Martapura still encountered houses built over the water's surface, known as "lanting".

Home form in general stilts with poles, floors, walls and roofs made of ironwood. The houses consist of various types or forms are distinguished by the form of the roof as high ridge, hall male, palimbangan, and so forth. At settlement on the banks of the river, between the houses to one another are connected by catwalks, and every home (extended family) have a stem, which is a kind of rafts are placed on the river front of the house that served as a shower, sink, and toilet (MCK), and tether boats at the same place. Each village usually has a surau or violated, the larger villages there jami mosque for Friday prayers. In addition, each village also mempunai market located at the intersection or the meeting of two rivers (Sunarningsih in Gunadi et al., 2004).

Water transport network is a major part of which became the lifeblood and driving the growth and development of Banjarmasin. The town is expected to start up in the second quarter of the 16th century was originally built at the mouth of the river banks Kuin and Alalak marked the establishment of "palace" of the Sultanate of Banjarmasin. Aside from being the center of the empire, -tepatnya in Banjarmasin city or delta-Tatas Island was also the administrative center of the Dutch East Indies. Then, since 1956 until now bears the title of the provincial capital of Banjarmasin in South Kalimantan (Subiyakto, 2004).

Geographically Banjarmasin River basin is located in the Barito and Martapura River that has many channels (Anjir / antasan, Handil / Tatah and saka). The canals were doubles, in addition to agricultural interests as well as transportation infrastructure, as well as container and channeling the water at high tide, so as to reduce the flood water and prevent flooding. Even the channel also serves as protection for the interests of defense built around the castle as contained in Fort Tatas.

In detail can be described, that the people of Banjar recognize three kinds of channels. First, Anjir (some call Antasan) which is a kind of primary channels that connect between the two rivers. Anjir serves the public interest by gravity as a farm irrigation system and means of transport. Second, Handil (there is also a mention Tatah) which is a sort of channel of the estuary at the river or at Anjir. Handil made to deliver water to the agricultural land lying areas. Handil smaller than Anjir and belong to a particular group or stamp. Third, Saka is a tertiary canals to deliver water that is usually taken from Handil. These channels are smaller than Handil and is a family-owned or private.

According Schophuys, canals form Anjir, Handil and Saka truly original work of Banjar community describes as irrigation systems Banjar. Anjir, Handil and Saka has the main function as agricultural irrigation in the broad sense and transport infrastructure to the regions, in addition to the need for drinking, washing and bathing.

Ability and habit of Banjar people answered the influence of the tidal river to create a channel is a privilege and prove the degree of civilization possessed. They were able to build a canal which extends for tens of kilometers only to force his hand. The canals were built using a very simple tool called Sundak, how to use it really rests on the strength of the hand. It is made of ironwood or thin steel plates measuring 20 cm wide and 35 cm long.

Banjar community builds many Anjir in Banjarmasin which is referred to as Antasan like Antasan Large, Small Antasan, Antasan Raden and Antasan Bondan. In the Dutch colonial administration, initiated by J.J. Meijer (1880), building a tightly Anjir fully use and the way labor Banjar. The idea was later implemented by W. Meijer Broers replacement, to start building Anjir tightly. Anjir connects Banjarmasin and Kapuas with width 30 m, length of 28 km and a depth of 3 m was completed in 1890.

In 1935 Morggenstorm rulers at that time doing repairs and cleaning Anjir tightly because of silting and dirty. It seems that it's a form of attention and maintenance of water infrastructure transfortasi. Even in 1938, Morggenstorm considers it necessary to add more of a Anjir, later called Anjir Tamban, built along the 32 km connecting the Barito and Kapuas Murung in the western part of the city of Banjarmasin.

At the time of independence, Ir. Prince Muhammad Noor as Minister of Public Works and Labour in the era of President Sukarno initiated the National canalisation project that will connect South Kalimantan region to West Kalimantan. However, unfortunately the program was discontinued.

Although it failed to build a great canal, does not mean the construction of canals to stop, even just continue. Two Anjir built again in 1950 at the same time, past governor Murjani ie Basarang and Anjir Anjir Kalampan. Then in 1961dibangun Anjir Balandean and follow Anjir barnacle 1965 which are both located in the northern part of the city of Banjarmasin.

Anjir development or Antasan of this, encouraging people to build many Handil Banjar or Tatah. According to Amir Kiai Hasan Bondan that between 1924 and 1927 Banjar people still continue to build Handil. Amounted to hundreds of pieces with a length of each Handil reach tens of kilometers. In the 1940s and 1950s re-built hundreds of new Handil. 


Handil-Handil were built at that time, especially in the area kelayan and Pemurus. Only a few instances like Tatah low, Tatah Pamangkih, Tatah Bangkal, Tatah Belayung, Tatah Pelatar, Handil Fall, Handil Bintangur, Handil Malintang, Handil Parit, Handil Babirik, Handil Kabuwau and others.

Likewise, the Saka, which were built by farmers Banjar with a width of between two to four meters and a depth of no more than 2.5 meters. While the length varies from one kilometer to 10 kilometers of the estuary can to Handil, Anjir even river. Saka's countless in Banjarmasin today almost is no longer recognizable. There is only one that until now is still unknown, and even then not in the form of Saka again, has become the name of a road through the village or Saka Permai.

Considering how many rivers and canals with kids branches in the city of Banjarmasin countless, so poetically and to more easily disebutlah Banjarmasin city as a city "Thousand Rivers".

Source : Translate by https://bubuhanbanjar.wordpress.com/

KISAH LEGENDA NAGA SUNGAI AMANDIT KANDANGN DI HULU SUNGAI SELATAN

Cerita yang menjadi legenda ini, berasal dari  masyarakat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan, Masyarakat di sana rata-rata hampir mengetahui kisah keberadaan sang Naga penghuni sungai Kandangan. Penulis sendiri lahir di desa Simpur kota Kandangan, sehingga sedikit banyak mengetahui kisah tersebut, dan ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua untuk lebih mengenal kisah daerah langsung dari Kota Kandangan.

Konon di sungai Kandangan, di sungai kandangan/sungai amandit. Dulu ada sebuah jembatan gantung dan dibawahnya dipercaya ada sebuah liang Naga, sehingga tidak ada satupun tiang jembatan yang bisa dibangun sampai sekarang, dan konon juga air sungai tersebut tidak pernah kering.

Kisah Sang naga ini bermula, ada sepasang suami istri yang ketika itu mencari ikan di sungai dengan cara tradisional menggunakan alat tradisional juga yaitu “tangguk”, mereka menangguk ikan-ikan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari.

Namun suatu ketika, mereka mendapatkan dua butir telur yang sangat besar, mereka kebingungan karena itu jelas bukan telur yang wajar. Mereka membuang telur itu dan pindah ketempat lain untuk mencari ikan, tapi apa yang didapat? Ternyata itu dua butir telur yang serupa, sungguh aneh tapi karena bujukan/rayuan sang istri sebab hari itu mereka tidak mendapatkan ikan, maka telur tersebut akhirnya dibawa pulang kerumah, dan berniat untuk memakannya saat malam hari, tanpa memberitahukan anak mereka.

Saat malam hari, sepasang suami istri tersebut merebus dua butir telur itu dan memakannya tanpa fikir panjang, tiba-tiba setelah memakan telur itu, seluruh tubuh mereka tumbuh sisik dan tubuh mereka berubah membesar sehingga rumah mereka tidak sanggup menahan pertumbuhan tubuh mereka, kemudian pintu depan rumah mereka dihancurkan untuk keluar dan meloloskan diri, dengan tali blaran mereka langsung pergi kesungai, dan pada saat itu banyak masyarakat sekitar mengetahui peristiwa itu termasuk anak mereka.

Mereka menjadi siluman jadi-jadian, namun disungai tersebut masih ada satu kehidupan yaitu naga asli yang menghuni, akhirnya naga tersebut terjadi perselisihan antara naga jadi-jadian, memperebutkan alam mereka masing-masing, naga asli menantang duel apabila kalah maka akan pergi jauh meninggalkan sungai tersebut untuk selamanya.

Setelah itu naga sepasang suami istri tersebut, meminta anaknya untuk dibuatkan tanduk seperti naga asli, dan berpesan kepada anaknya kalau dalam pertarungan seandainya darah berwarna biru yang keluar itu berarti naga yang asli kalah tapi apabila darah tersebut berwarna merah berarti orang tuanya kalah, akhirnya waktu duel pun terjadi, dan darah yang keluar ternyata berwarna merah, maka dapat diketahui pemenangnya adalah naga yang asli, maka sesuai perjanjian naga yang kalah akan pergi jauh meninggalkan tempat itu.

Peristiwa tersebut menjadi kisah dari dulu sampai sekarang, bahkan keturunan-keturunan dari anak mereka sampai saat ini masih hidup dan konon katanya salah satu dari keturunannya pernah didatangi oleh naga tersebut namun dalam wujud lain yang sangat kecil pada malam hari. Demikianlah kisah ini, untuk membuktikannya Allahualam bissawab, hanya Allah yang Maha Tahu.

Penulis: Elfie

Sumber: http://alfie-spanyol.blogspot.co.id/

Cerita dan kisah-kisah legenda, cerita rakyat kandangan Hulu Sungai Selatan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti:
Datuk panglima hamandit,
datung suhit dan datu makandang,
datu ramanggala di ida manggala,
datu rampai dan datu parang di baru sungai raya,
datu ulin dan asal mula kampung ulin,
datu sangka di papagaran,
datu putih dan datu karamuji di banyu barau,
legenda batu laki dan batu bini di padang batung,
legenda gunung batu bangkai loksado,
legenda datu ayuh/sindayuhan dan datu intingan/bambang basiwara di loksado,
kisah datu ning bulang di hantarukung,
datu durabo di kalumpang,
datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat,
legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari di hamalau,
kisah gunung kasiangan di simpur,
kisah datu kandangan dan datu kartamina,
datu hamawang dan sejarah mesjid quba,
tumenggung antaludin mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai,
datu buasan dan datu singa jaya di hamparaya,
datu haji muhammad rais di bamban,
sejarah mesjid ba angkat di wasah,
dakwah penyebaran agama islam datu taniran,
datu balimau dan habib lumpangi,
kubur enam pahlawan di ta’al,
kuburan tumpang talu di parincahan,
pahlawan wanita aluh idut di tinggiran,
panglima dambung di padang batung,
gerombolan pemberontak ibnu hajar,
sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Basri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan.

Semuanya adalah Kekayaan bangsa dan merupakan salah satu aset budaya dan sejarah bagi Daerah Kalimantan Selatan.

MARRIAGE CEREMONY WITH CULTURAL "BAUSUNG PANGANTIN"

Indoborneonatural-- When still a child in Barabai (HST), the author often witnessed the wedding ceremony conducted by a festive custom according to local tradition. One of the most interesting is the tradition Pangantin Bausung. Pangantin Bausung or Bausung Pangantin is one wedding tradition in South Kalimantan, especially in Hulu Sungai. Bausung taken from the word that means carrying the stretcher. whereas Pangantin (Banjar, Kal-Sel), or the wedding that the bride and groom couples who were to mate. A pair of bride and groom before the wedding disanding in advance carried by two dancers. Gamelan, two dancers while carrying the bride and groom to dance to the rhythm of the gamelan amid views of the invitees who follow the show.

Ba-stretcher is a term Banjar, South Kalimantan, the origin of the word stretcher, which means in the lift to the top. In the old days pangantin ba-stretcher is only done by groups with economic levels up since it costs more, so that when a family is able to carry out the ba-stretcher pangantin means the family is perceived as being. In addition pangantin bausung event is considered a fancy party and festive. witnessed the event.

At first the bride Bausung tradition this is only done by the middle and upper tinggat, because costly. So that if a family is able to carry out the ba-stretcher pangantin means the family is perceived as being. This event is also considered as a party. Along with the times, the tradition pangantin ba-stretcher is no longer seen as the party of the rich only. But have become part of the entertainment for the people of Upper River, the cost is not too draining the wallet. So, for the people of Hulu Sungai not complete it when implementing wallimah wedding without traditions pangantin ba-stretcher.

The Wedding Ceremony
"Pangantin Bausung"
 At first the bride Bausung tradition this is only done by the middle and upper tinggat, because costly. So that if a family is able to carry out the ba-stretcher pangantin means the family is perceived as being. This event is also considered as a party. Along with the times, the tradition pangantin ba-stretcher is no longer seen as the party of the rich only. But have become part of the entertainment for the people of Upper River, the cost is not too draining the wallet. So, for the people of Hulu Sungai not complete it when implementing wallimah wedding without traditions pangantin ba-stretcher.

Along with the times, this tradition is not only carried out by the upper class. But have become part of the entertainment community Upstream, the cost is not to drain the wallet.

So on the wedding ceremony cultural custom banjar bausung this bride. May be useful to increase knowledge world. thank you for visiting this blog Indoboreneonatural.

INILAH SEKILAS SEJARAH KAIN SASIRANGAN KALIMANTAN SELATAN

Indoborneonatural---Di Kalimantan khususnya wilayah Banjarmasin dan sekitarnya, terkenal sebagai penghasil kain khas bermotifkan bentuk-bentuk khusus dari daerah Kalimantan Selatan yaitu kain Sasirangan. Sasirangan merupakan kain adat yang biasanya dipakai untuk acara adat khas suku Banjar. Kata sasirangan sendiri berasal dari kata “manyirang” yang memiliki arti menjelujur. Mengapa diberi nama manyirang atau menjelujur? Karena proses pengerjaan kain ini dilakukan dengan cara menjelujur yang kemudian diikat dengan tali lalu dicelup ke dalam pewarna. Hingga sekarang, kain sasirangan masih dikerjakan secara manual dan tradisional.

Tercatat dalam sejarah banjar, kain sasirangan merupakan kain sakral yang diwariskan sejak abad ke-12 ketika Raja Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Pada mulanya, sasirangan masih masih dikenal untuk kain “batatamba” atau proses pegobatan dan penyembuhan secara ritual pada orang yang mengidap suatu penyakit, sehingga saat itu kain sasirangan masih harus dipesan terlebih dahulu (pamintaan) sesuai dengan kehendak pemesannya.

Oleh sebab itulah, orang-orang suku Banjar sering menyebut kain sasirangan sebagai kain pamintaan atau permintaan. Selain untuk penyembuhan orang sakit, kain sasirangan juga merupakan kain yang dianggap sakral dan biasa dipakai dalam upacara adat Banjar pada masa-masa kerajaan Banjar berkuasa.

Kisah Legenda seputar asal usul kain sasirangan

Menurut Sahibul Hikayat atau cerita rakyat, di sekitar abad XII sampai XIV pada kerajaa Dipa kain sasirangan pertama kali di buat yaitu manakala Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting balarut banyu (di atas rakit mengikuti arus sungai). Menjelang akhir tapa nya, rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya di Sungai Martapura seonggok buih dan dari dalam buih terdengar suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini.

Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi/padiwaringin. Itulah kain calapan/sasirangan yang pertama kali dibuat dan sering disebut oleh masyarakat sebagai batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.


Itulah sejarah singkat asal usul kain sasirangan. Arti kata sasirangan sendiri di ambil dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “sirang” yang berarti “jelujur”. Sesuai dengan proses pembuatannya, Di jelujur, di simpul jelujurnya kemudian di celup untuk pewarnaannya.
Sasirangan menurut tetua adat Banjar dulunya di pakai untuk pengobatan orang sakit, dan juga di gunakan sebagai laung (ikat kepala adat Banjar), Kakamban (serudung), udat (kemben), babat (ikat pinggang), tapih bahalai (sarung untuk perempuan) dan lain sebagainya. Kain ini juga di pakai untuk upacara-upacar adat Banjar. Sekarang Sasirangan sudah memasyarakat dan menjadi milik bangsa Indonesia, bukan lagi di peruntukkan hanya untuk kegiatan ritual dan spiritual masyarakat Banjar saja, tapi sudah menjadi pakaian dalam kegiatan sehari-hari.



Ada banyak ragam bentuk dan motif kain sasirangan yang mengangkat khas tradisi daerah Kalimantan Selatan antara lain seperti : Iris Pudak, Kambang Raja, Bayam Raja, Kulit Kurikit, Ombak Sinapur Karang, Bintang Bahambur, Sari Gading, Kulit Kayu, Naga Balimbur, Jajumputan, Turun Dayang, Kambang Tampuk Manggis, Daun Jaruju, Kangkung Kaombakan, Sisik Tanggiling, Kambang Tanjung dll. Baca Motif dan Jenis Kain Sasirangan.

Motif kain Sasirangan adalah motif kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu. Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh beberapa faktor, dalam pencelupan kain selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain : jenis benang/jenis bahan pengikat.

Demikian sekilas tentang sejarah kain Sasirangan khas dari daerah Kalimantan Selatan, semoga bemanfaat. Terimakasih atas kunjungannya di blog ini, silakan juga berkunjung ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, untuk menikmati ragam wisata, kuliner dan cinderamata sasirangan yang menarik lainnya.

Cari Artikel