Indoborneonatural---Menurut perjalanan sejarahnya, sejak jaman kuno di Kalimantan Selatan terdapat kepercayaan (agama) dan alam pikiran yang juga tersangkut dengan hal-hal gaib yang dipercaya turun temurun oleh masyarakatnya. Kiranya tak akan terlalu jauh perkiraan kita bahwa sejak zaman bercocok tanam, perkembangan dasar pemujaan nenek moyang yang kemudian membentuk dasar-dasar agama "Kaharingan". Dasar yang ada bersifat serba dua mengenai alam, yaitu membagi alam menjadi alam atas dan alam bawah. Alam atas dikuasai Ilah yang disebut dengan bermacam nama yaitu :
- Tingeng atau Bungai, nama burung sakti perkasa, jantan dan terkenal dalam mytologi Dayak
- Raja Tongtong Matanandau, atau raja penjuru matahari.
- Mahatara (Maha Batara)
- Mahatala (Alatal)
Yang dua terakhir menunjukan telah menggunakan istilah dari agama Hindu dan Islam. Alam bawah dikuasai Ilah yang bersifat betina disebut;
- Tambon, naga atau ular besar sakti
- Jata atau Biwata
Ilah alam bawah ini dianggap melambangkan kesuburan dan bersifat keibuan.
Mitologi penciptaan alam duani dan manusia mengatakan bahwa semua yang ada ini diciptakan oleh Mahatara dan Jata bersama-sama dan diatur bersama-sama pula. Keduanya merupakan suatu kedwitunggalan (eine Einheit der Zweiheit). Totem emblim Mahatara adalah tingang dengan tumbak dan untuk Jata, Tambo dan keris.
Ilah Dwitunggal ini mencerminkan sifat alam yang serba dua dala ketunggalan, seperti baik-buruk, putih-hitam, terang-gelap dan seterusnya, semua melukiskan sifat etis-religius yang ambivalen. Ilah Dwitunggal ini dengan sifat serba dua tadi manifestasikan diri dalam sifat-sifat yang dilaksanakan oleh Ilah-ilah pengantara. Yang kedua ini mewujudkan karakter etis-religius yang ambivalen dari Ilah Dwitunggal tadi. Dalam tiap upacara, baik peserta maupun pemimpin upacara terlibat dalam pengelompokan ini. Pada suku dayak, balian pendeta wanita itu di sebut Naga yang berohkan garuda.
Dalam pemikiran religius sehari-hari Ilah Deitunggal ini digambarkan secara antropomorfis sekali, sebagai laki-laki dan wanita. Berhubungan dengan Ilah tertinggi dilaksanakan melalui ilah pengantara. Ilah-ilah ini dipimpin lima raja yang masing-masing jadi raja dalam kelompok Ilai-ilah tertentu yaitu:
- Ilah Kilat dan Raja Pali bertindak dalam pelanggaran adat dan hukum pali.
- Raja Ontong memberi rejeki, kekayaan dan kemakmuran.
- Raja Sial mendatangkan kengerian, kekejaman, celaka, musibah dna sebagainya
- Raja Hantoen, memberi segala kerusuhan, pengrusakan, mengganggu, meminum darah manusia.
- Raja Peres penyebar epidemi.
Mereka berlima ini memerintah sejumlah Ilah yang lebih rendah yaitu roh baik dan roh jahat yaitu:
a. Roh Baik
- Tempon Telon, pengantar roh orang mati ke akhira
- Sangumang, pembantu orang dalam kesukaran
- Antang, si pemberi tanda dan perlindungan
- Jarang Bawahan, si pemberi kekuatan dan kepahlawanan
b. Roh jahat
- Kuntilanak
- Karian, orang halus yang menyesatkan orang di hutan
- Kloe, penjaga tanah keramat
- Kukang, yang menguji/menghalangi roh yang sedang menuju ke alam baka (Lewu Lisu)
Arwah nenek moyang cikal bakal adalah penjaga tradisi dan adat disebut Nanyu Saniang. Mereka berada di alam baka dan bisa dipanggil membantu yang hidup, menjaga kampung, melindungi sungai atau keluarga. Tempat pemujaan pada pohon, batu atau patung.
Dalam mitologi Dayak juga dilukiskan mengenai Pohon Hayat yang disebut Batang Garing. Pohon Hayat ini mewujudkan kesatuan manifestasi alam atas dan bawah, unsur jantan dan betina, baik dan jahat, hidup dan kematian.
Pohon Hayat atau Batang Garing melambangkan totalitas kosmos, tapi juga dulisme religius; sifat antagonistis ini selalu muncul dalam mite penciptaan, perulangan historis, terlukis dalam ritus dan kultus Tafsiran dalam kepercayaan khusus tentang jiwa alam baka, dan makna ritus kematian menggambarkan adanya harapan-harapan eskatologis, kepercayaan itu beranggapan bahwa jiwa manusia setelah meninggal mengalami proses khusus dalam kepergiaannya kenegeri roh, dan tersimpul dalam upacara ritus yang kompleks.
Di alam baka arwah itu menikmati sumber air Kahuripan (danum kaharingan) dari pohon hayat, hingga hidup "abadi" dalam artian lama penuh kenikmatan, tapi bila daya hidupnya habis, barulah ia menemui kematian kedua. Roh-roh ini kedunia lagi dalam bentuk cendawan, buah-buahan, bunga untuk dapat dilahirkan kembali melalui manusia.
Bila seseorang meninggal ia dikubur seperti biasa. Roh ini diantar ke tempat peristirahatan sementara. Ia menunggu ritus kematian sempurna seperti tiwah (Ngaju), pembakaran menyucikan ia dari sifat keduniawian dan menobatkan mereka jadi sanghyang. Tulang-tulang dibakan dalam Gunung Pidudusan Hyang.
Kematina tak lain dari sejenis perpindahan kehidupan. Ritus kematian membantunya mencapat tempat tujuan akhir yang sempurna dan melindungi yang masih hidup, dari roh-roh yang belum disempurnakan perjalanannya. Semakin lengkap, sempurna dan mahal upacara tersebut, semakin tinggi kedudukan Hyang ini di alam baka dan semakin cukup perbekalannya.
Dalam perkembangan selanjutnya. Agama dan kepercayaan asal ini kemudian mendapat pengaruh-pengaruh dari agama yang kemudian masuk, terutama agama Siwa. Agama Budah kemungkinan masuk terlebih dahulu dari agama Siwa. Istilah pitara, mahatara, pohatara jelas berasal dara Mahabarata. Demikian pula ritus tiwah dan ijambe dimana tulang-tulang ini dibakar sebagai ritus penyempurnaan kematian menjadikan arwah tersebut Hyang, seperti upacara Sraddha pembakaran tulang-tulang tersebut maksudnya agar kembali suci dan menjadi Siwa, raja pelindung negara. Agama Siwa berkembang dan membawakan pembaharuan yang dikembangkan oleh raja pertama Negara Daha.
Demikian tentang alam pemikiran dan kepercayaan (agama) serta hal-hal gaib di Zaman Kuno dari masyarakat Kalimantan Selatan. Semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang kembudayaan Indonesia pada umumnya dan kebudayaan daerah Kalimantan Selatan khususnya. terimakasih. Admin; https:// indoborneonatural.blogspot.com/
0 komentar:
Post a Comment