Inilah kisah pembelajaran silat jaman dahulu khususnya di daerah Kalimantan Selatan, tentang guru kuntau (silat kuntau) ilmu beladiri tradisional.
Suara sarunai terdengar syahdu mendayu mengiringi pagelaran pencak silat itu. Alunannya bak mantra mistik, membuat tubuh Kai Anum bergerak semakin lincah dan gesit, membentuk sebuah tarian gemulai nan indah. Badannya yang kekar, seolah-olah tak bertulang. Tiba-tiba, secara refleks dan cepat, ia membalikkan tubuh dan menangkap tangan penyerangnya. Dengan satu gerakan yang tak bisa kugambarkan, ia membuat musuh itu langsung jatuh telungkup di tanah. Tangannya terpelintir ke belakang. Goloknya terlempar. Para penonton yang tak lain adalah murid-muridnya, berdecak kagum menyaksikan atraksi hebat yang menegangkan itu.
“Itulah patikaman dari ilmu silat yang kalian pelajari selama ini,” ucap Kai Anum sambil melepaskan tangan penyerangnya tadi.
“Dengan jurus ini, kalian bisa menangkis sekaligus melumpuhkan musuh yang tiba-tiba menyerang dari belakang atau dari arah mana saja, sekalipun kalian tidak dalam kondisi siap. Bahkan selembar daun yang tidak disadari akan jatuh mengenai tubuh, kalian dapat menepisnya. Inilah yang dinamakan jurus refleks atau silat gaib,” lanjutnya.
“Kapankah jurus itu akan diajarkan kepada kami, Guru?” Aku memberanikan diri bertanya. Kai Anum terdiam sesaat.
“Sayang sekali! Jurus ini tak bisa kuajarkan kepada kalian,” sahutnya tegas, membuat wajah-wajah kami tertunduk lesu.
“Tapi, jangan khawatir! Jurus-jurus yang telah kuajarkan kepada kalian, tidak kalah hebat dengan patikaman tadi. Jurus yang telah kalian kuasai juga bisa menepis serangan yang tiba-tiba dan tak terduga. Bedanya, jurus tadi membuat tubuh secara refleks menangkis serangan, sekalipun kalian sedang tidur,” sambungnya menghibur kekecewaan kami.
“Tapi, bukankah refleksitas itu yang sangat penting? Karena terkadang serangan itu datang ketika kita lengah atau waktu tidur,” temanku mencoba merayu Guru.
“Benar! Tapi alasan yang kamu katakan itulah salah satu sebab aku tak mau mengajarkan jurus ini.”
“Kenapa, Guru?” lanjutnya semakin penasaran.
“Karena sifatnya yang refleks itu bisa menyakiti anak dan istri, atau membinasakan diri sendiri.”
“Bagaimana bisa begitu?” aku menimpali.
“Karena mungkin saja ketika tidur, anak atau istri mau membangunkan dengan memukul atau menepuk tubuh kita. Lalu secara refleks kita menyerangnya,” jelasnya, membuat kami mengangguk-angguk.
“Lalu, apa bahayanya bagi diri sendiri?” temanku bertanya lagi.
“Bahayanya saat kita memanjat atau menebang pohon. Bayangkan jika kalian sedang menaiki sebuah pohon. Tiba-tiba daunnya jatuh akan mengenai tubuh, lalu kalian secara refleks menepisnya. Atau ketika sebatang kayu besar akan tumbang ke arah tubuh, lalu kalian tanpa sadar akan menangkisnya. Apa yang akan terjadi?” paparnya membuat kami kembali mengangguk-angguk.
“Guru sendiri bagaimana mengatasi resiko itu?” tanyaku.
“Yah, terpaksa aku tak berani memanjat atau menebang pohon. Anak dan istri kuperingatkan agar tidak membangunkan tidurku dengan menyentuh tubuhku. Yang lebih repot lagi, sampai kini aku tak berani naik motor, baik disetir sendiri atau dibonceng orang lain.”
“Jadi, bagaimana cara membangunkan tidur atau mau bepergian?”
“Dipanggil dengan suara agak keras, atau dilempar dengan bantal dari jarak yang aman. Kalau mau bepergian, harus naik mobil, sebab mobil itu ada kaca pelindungnya.”
“Berarti masih ada solusinya,” temanku masih berupaya membujuknya.
“Benar! Setiap masalah pasti ada solusinya. Namun jalan keluarnya itu kurasa lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya. Yang lebih penting lagi, jurus pemungkas itu juga punya kelemahan yang akan kalian lihat sendiri nanti,” tukas guru bersikukuh tak mau mengajarkannya. Kami terdiam dan tak berani lagi bertanya.
“Ya, sudah! Teruskan latihannya!” instruksinya.
***
Kai Anum kembali mengajarkan kami jurus-jurus baru atau mengulang yang lama. Usianya tidak terlalu tua, 45 tahun. Sikapnya ramah dan toleran, namun ilmu silatnya termasuk aliran keras dan mematikan. Murid-muridnya sudah mencapai ratusan, bahkan di antaranya ada yang membuka padepokan sendiri, sehingga ia disebut Kai yang bermakna kakek, dan Anum yang berarti muda.
Kami terus giat berlatih tanpa memikirkan patikaman atau jurus pemungkas itu. Setelah setahun berguru, 39 dari 50 muridnya yang seangkatan denganku dinyatakan lulus setelah menjalani ujian akhir.
Ujiannya tidak main-main. Resikonya adalah maut. Selembar tikar purun yang lebar, dan sebilah samurai sepanjang 50 cm telah disiapkan. Ketajamannya bisa membuat selembar selendang sutera yang dijatuhkan ke atasnya menjadi dua, dan memotong sebuah paku hanya dengan tebasan rendah dan ringan.
Setiap murid dibungkus dalam gulungan tikar dari pangkal paha hingga ujung kepala. Seorang algojo menghunus pedang dengan kedua tangannya di depan tubuh yang telentang, dan mata tertutup itu. Dengan kuda-kuda siap menyerang, ia mengarahkan sisi ujung mata senjata itu sekitar 40 cm di atas perut. Ia menunggu hitungan ketiga dari Kai Anum.
“Satu...! dua...! tiga!” maka secepat dan sekuat tenaga eksekutor itu menghentakkan pedangnya ke bawah. Sebelum samurai itu membelah perut, murid harus bisa menghindar secepatnya dengan berguling sambil menendang kaki lawan untuk menjatuhkannya, lalu melepaskan diri dari tikar yang melilit tubuh. Jika tidak, maka ia akan terus diserang, hingga senjata itu mengenai tubuhnya.
Begitulah beratnya ujian yang kami lalui. Untungnya, tidak ada yang terluka parah. Kai Anum telah mengantisipasinya. Ia telah mengisi kekebalan tubuh tanpa kami ketahui sebelum ujian dimulai.
“Sesungguhnya tikar itulah yang lebih banyak berperan mencegah luka yang lebih parah. Sebab tikar inilah yang menghalangi mata pedang. Walaupun ia terlihat lemah, namun pada dasarnya ia lebih kuat daripada sutra. Hampir empat perlima tebasan pedang terserap untuk merobek tikar itu. Namun tubuh kalian juga sudah kuisi dengan kekebalan,” jelas Kai Anum sambil mengoleskan minyak ke bagian tubuh murid yang terluka. Entah minyak apa yang digunakannya. Perlahan daging yang terbuka itu menutup dan melekat kembali.
“Tapi, mengapa masih bisa luka?” tanyaku.
“Mungkin karena olah pernafasannya belum sempurna, atau ia pernah melanggar pantangan, sehingga ilmu taguh itu tidak bekerja sepenuhnya,” jelasnya.
***
Tahun demi tahun berlalu. Kai Anum semakin tua. Tenaganya telah diserap usia. Tubuhnya yang kekar menjadi lemah ditelan waktu. Ia tak lagi melatih di padepokan itu. Seorang murid kepercayaan telah mewakilinya. Aku sesekali masih datang ke sana sekedar bernostalgia, atau untuk mengasah kemampuan yang kumiliki, selain karena masih penasaran dengan jurus pemungkas perguruan silat itu.
Kupikir pelatih sekarang pasti diajarkan Kai Anum ilmu silat gaib itu, dan mengetahui kelemahannya. Tak mungkin orang yang dipercaya menggantikan kedudukannya tidak menguasai ilmu itu.
“Bisakah kau ajarkan silat refleks padaku?” pintaku sore itu.
“Maaf, Kang! Saya juga belum bisa,” jawab pelatih yang lebih muda dariku itu.
“Belum bisa atau tidak diizinkan Kai Anum?” pancingku.
“Sekalipun saya sudah puluhan tahun menggantikan guru, ia belum mengajariku ilmu itu,” sahutnya serius.
Mulai saat itu, aku tak lagi berkunjung ke sana. Aku langsung menemui Kai Anum di rumahnya. Dua kali seminggu aku bertamu. Kupijat-pijat kakinya yang tak mampu lagi berjalan tanpa tongkat itu. Aku berharap ia mau mengajarkan ilmu itu. Namun hingga dua bulan mengabdi, ia belum juga menurunkan ilmu itu padaku. Kuberanikan diri untuk memintanya.
“Sudah kukatakan, aku takkan mengajarkan ilmu itu, dan sudah kujelaskan bagaimana resikonya,” tegasnya lirih.
“Setidaknya guru menyampaikan apa kelemahannya, sehingga kalau menghadapi orang yang punya ilmu itu, aku bisa mengalahkannya,” bujukku.
“Niatmu untuk mengalahkannya. Aku tidak setuju kalau itu alasannya,” sahutnya membuatku semakin putus asa.
“Maksudku untuk membela diri, bukan untuk mengunggulinya,” kilahku.
“Kalau itu bisa aku terima. Tapi aku tetap tak akan memberitahukannya, karena kamu akan lihat sendiri kelemahannya.”
“Tapi, sampai sekarang saya belum melihatnya, Guru.”
“Tidak! Kamu sudah melihatnya, hanya kamu belum menyadarinya. Pahamilah apa-apa yang telah kau lihat dariku selama datang ke sini!”
Aku semakin tak mengerti maksudnya. Namun aku tak berani lagi bertanya. Aku terus berkunjung ke rumahnya, dengan harapan suatu saat ia mau menjelaskannya tanpa diminta.
***
Suatu hari aku kembali mengunjunginya. Ia duduk di kursi, di beranda sebelah kiri rumahnya. Kusandarkan sepedaku di bawah pohon tidak jauh darinya.
“Silakan naik!” sapanya ramah.
“Iya, Guru! Terima kasih,” sahutku, lalu kami bercakap-cakap seperti biasa sambil memijat kakinya.
Tiba-tiba entah mengapa sepeda itu akan jatuh ke arahnya. Secara refleks ia berdiri, lalu menepis sepeda itu hingga jatuh berbalik arah dan mengenai pohon. Kakinya yang tidak kuat berdiri, membuatnya jatuh dari teras ke tanah dengan posisi telungkup. Sepeda itu kembali akan menimpanya. Secara refleks pula ia mendorongnya ke arah depan, hingga terlempar beberapa meter. Aku terpana beberapa saat, hingga akhirnya kulihat Kai Anum tertatih-tatih untuk bangkit. Akupun segera menolongnya.
“Guru tak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Tak apa!” sahutnya singkat sambil mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan.
Kai Anum mengibas-ngibas debu yang melekat di pakaiannya. Kuamati bagian lututnya yang berbenturan dengan kerikil-kerikil tajam itu. Tak sedikit pun terdapat lecet di sana. Kupijit-pijit kakinya. Tiba-tiba kulihat mukanya seperti meringis.
“Ampun, Guru! Guru sakit?” tanyaku cemas dan menghentikan pijatan. Ia memejamkan mata, seolah menahan sakit.
“Ampun, Guru!” hibaku lagi karena khawatir ia marah gara-gara sepedaku itu.
“Sudahlah!” sahutnya sambil menghembuskan napas dan membuka mata. Aku diam, menanti apa yang akan diucapkannya.
“Sudah kamu lihat kelemahan patikaman itu?” tanyanya pelan. Aku mengangguk pelan, walaupun belum mengerti sepenuhnya.
“Jadi, kalau sudah tua dan kondisi fisik begini, jurus refleks itu tidak berguna lagi, bahkan hanya menyakiti diri sendiri. Jika kamu punya musuh, maka boleh jadi ia dendam, dan membalas ketika kamu lemah sepertiku ini. Jurus itu tidak dapat menolongmu, bahkan membuatmu lebih mudah ditaklukkan. Bisa kau bayangkan, seandainya sepeda itu jatuh menimpaku, pasti akibatnya tak sesakit karena terjerambab seperti tadi. Artinya, jelas bahwa bahayanya lebih besar dari manfaatnya.”
“Tapi Guru tidak terluka. Kenapa bisa sakit?”
“Jangan kau kira ilmu kebal itu bisa mencegah rasa sakit. Ia hanya menjaga kulit agar tidak terluka. Andaikan ilmu silat dan kekebalan itu dapat mencegah dari tua dan sakit, sampai ke ujung dunia pun aku akan mencarinya. Karena itu, cukup pelajari ilmu yang benar-benar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain saja,” petuahnya membuat keinginanku mempelajari patikaman itu seketika menjadi sirna.
***