Indoborneonatural----Berikut ini penulis mencoba menulis dan mengulas sedikit tentang aspek religi mantra pada puisi bahasa Banjar. Dalam tulisan ini penulis mengangkat sebuah puisi bahasa Banjar dari guru, sahabat dan pembimbing penulis dalam dunia sastra ketika penulis masih aktif menulis cerpen dan puisi. Beliau adalah Noor Aini Cahya Khairani, dari sekian banyak puisi hebat yang dihasilkan dari buah tangan dan pikiran beliau semasa hidup, salah satu puisi yang menjadi pavorit dan sangat--sangat saya sukai adalah puisi bahasa banjar yang berjudul : "Mangariau Naga".
Dari judul puisi ini yaitu Mangariau Naga di atas dapat kita artikan dengan "memanggil naga", tetapi kata “memanggil” dalam bahasa Indonesia jika disandingkan dengan kata dalam bahasa Banjar “mangariau” lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan konsepsi religi magi atau hal-hal gaib. Kata “mangariau” dalam kerangka bahasa Banjar tempo dulu adalah dari kata “kariaw” yang artinya tarikan gaib; mangariau artinya menarik secara gaib. Jika “kana kariaw” kena pengaruh gaib, kena guna-guna.
Sedangkan pengertian dari “naga” adalah berkaitan dengan suatu mitos dari beberapa kisah kosmos tentang seekor binatang (ular besar) yang juga dipercaya keberadaannya oleh sebagian masyarakat Banjar. Seperti kita dengar istilah dan ucapan orang-orang banjar tempo dulu, “naga” adalah naga; banaga-naga artinya ada naga (nya); bananagaan bernaga-nagaan, ada naga-nagaannya : tajau malawan rancak : belanga antik sering ada naga-naganya.
Dalam konsepsi religi Mangariau Naga berkaitan dengan hal-hal yang gaib melibatkan mantra dalam bahasa Banjar “Mamang” yang dilakukan dalam kegiatan ritual “mangariau” tersebut.
Mangariau Naga dapat dilihat dalam gambaran suatu kisah kosmos tentang naga orang Banjar, mite naga yang dipercaya menghuni sungai-sungai besar di wilayah Kalimantan Selatan yang masing-masing diberi nama naga sirintik dan naga siribut, menurunkan perilaku gaib bagi lingkungan kerajaan Banjar tempo dulu dan masyarkat Banjar tersebut. Gambaran hal ini dapat dilihat dalam kutipan Puisi sebagai berikut :
……………………….
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
bakalambu ujan panas marintik, basasajian
bapakaian saraba kuning, babaras kuning pawang
bamamang ;
“ barakat aksaraku tatinggi pada ikam
ikam kada mangariau ku aku nang mangariau ikam
uiii, sirintik siribut nang basisik habang sinang
babalang-balang
napa batapa di kalurungan
kada mayukah wadai ampat puluh satu macam
kambang laki-bini pitu macam”
lampah, darah alam jalallah
nang datang matan raden Samudra
sampai kakita.
…………………………….
Naga yang dimantrai (bamamang), dan dikariaw dalam Puisi ini memiliki dua pengertian yaitu : pertama, naga seperti yang terdapat dibalik misteri mitos gaib yang terjadi di sungai-sungai dan daratan Kalimantan Selatan. Kedua, pengertian naga sebagai substansi generasi muda penerus “banua” (nanang-galuh) yang harus digugah semangatnya agar menjadi lebih maju, tidak membiarkan diri larut dalam segala keadaan, sifat dan perilaku negatif yang disimbolkan dengan “banyu nang karuh”. Dengan mantra maka ia “dikariaw” seperti kutipan ini :
……………………………
Jangan hanyut ulih banyu nang karuh
Dingsanakku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
Tampulu kita baluman kakadapan.
Terlepas dari konteks logis atau tidak logisnya suatu pemikiran religi magi, mantra yang terdapat dalam puisi Mangariau Naga ini harus diselami dari dunianya, yaitu secara metafisik dan mistis. Secara mendasar dunia mistis ini memiliki lingkup tersendiri, menurut Joseph J. Weed (1991 : 18) kita memiliki sifat ganda terdapat dua unsur yang mengarungi sistem kita yaitu energi fisik dan energi rokh (energi batin), tidak ubahnya suatu sistem yang terdiri dari berbagai variabel kosmos dalam lingkup ruang gaib yang luar biasa dinamika, makna dan daya imajinasinya. Dunia yang dimaksud satu ini yaitu dunia yang meramu dua variabel yaitu irasional yang berada di luar batas jangkauan logika dan dunia logos sebagai suatu sistem konvensi kemampuan indra manusia.
Mantra “Mamang” dalam puisi ini yang juga berada dalam dunia mistis adalah sebagai suatu tanda bahwa penyair melakukan suatu langkah untuk melewatu suatu batasan dunia pada dimensi yang lain. Dimensi yang ditandai oleh pencarian identitas jati diri terhadap alam semesta beserta seluruh makhluk yang ada di dalamnya baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Manusia dalam prosesnya mencari suatu strategi untuk menemukan hubungan yang tepat antara manusia dan daya-daya kekuatan yang ada di alam semesta ini.
Dalam puisi ini dengan teradobsinya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat mistis ini, penyair memberikan suatu gambaran pemikiran di atas, yaitu alam pemikiran ontologis manusia mulai mengambil jarak terhadap segala/sesuatu yang mengitarinya. Penyair dalam posisi ini, tidak lagi sebagai seorang penonton prosesi, melainkan telah berusaha memperoleh pengertian daya-daya yang menggerakan alam dan manusia. Karena itu di sini penyair memulai suatu hubungan perenungan fisik dan alam irasional sebagai kaji-renung metafisik untuk selanjutnya dikedepankan sebagai nilai-nilai yang berharga dalam karya puisi tersebut.
Kata-kata “Mamang”, “Kariau”, dan “Naga” berada dalam lingkup dunia metafisik dan mistis. Jika diuraikan jalinannya berada dalam lingkup hidup dunia mitodologi. Dalam dunia seperti ini tidak ada garis pemisah yang jelas antara dunia realitas dan dunia maya dengan manusia, antara subyek dan obyek. Hubungan manusia dengan makhluk gaib dalam tahap tersebut bisa dikatakan sebagai suatu subyek, berupa lingkaran yang masih dapat dibuka dan diselami rahasianya, yang akhirnya bermuara kepada ketauhidan dari kekuasaan Tuhan.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Peursen (1995 : 124) yang menguraikannya sebagai ruang “Sosio-mistis” yaitu suatu lingkup daya kekuatan semesta yang ditentukan oleh pertalian antar suku (sosio) dan oleh sikap yang mistis-mistis. Inti dari sikap mistis tersebut, bahwa kehidupan ini ada, ajaib dan berkuasa. Penuh daya kekuatan. Dan dengan kesadaran tersebut timbulah cerita-cerita mistis.
Jadi pandangan akan “naga” ini bukan hal yang tidak rasional bila naga sebagai seekor binatang, menghadirkan kekuatan supranatural bagi kehidupan manusia. Hubungan alamiah dan adikodrati yang dapat menghantarkan eksistensi manusia pada cita-cita individual dalam masyarakat yang komunal.
Secara umum jika kita teliti ada konvensi dan keyakinan masyarakat umum yang mewarnai struktur mithe yang banyak tersebar di nusantra bahkan di dunia ini yaitu unsur dunia atas dan unsur dunia bawah sebagai asal penciptaan dunia mistis. Mitos Naga Banjar adalah merupakan salah sekian dari beragam ceritera yang berkembang di wilayah nusantara ini yang dapat kita lihat dalam tiap-tiap bagian masyarakat adat atau suku yang mendiami wilayah yang terbentang dari sabang sampai merauke ini.
Membaca konsep lanskap alam yang menjadi setting puisi ini, kita mengarahkan pada latar belakang penyair sebagai salah seorang masyarakat atau suku Banjar yang kehidupannya bermula pada proses dinamika alam Banjar, ia terlihat sangat dekat dengan lingkungannya terutama lingkungan sungai yang memang melingkupi seluruh kehidupannya. Pada masyarakat Kalsel sendiri pada umumnya sarana air dan sungai merupakan sarana aktivitas keseharian yang sangat dominan dan sangat vital. Kehidupan yang dimulai dari proses konsumsi, transportasi, ekonomi sampai kegiatan buang air besar dan kecil. Karena itu bagi penyair mantra-mantra yang dilakukan diarahkan pada kehidupan sungai ini. Ada beberapa kata dan kalimat dalam puisi tersebut yang berkaitan dengan dinamika sungai ini seperti kata-kata dan kalimat dalam kutipan puisi ini :
…………………………..
Di bawah kalas muha ari, di atas soklat sungai martapura
……………………………
Mangayuh tambangan tumatan muhara ka hulu
mananjak ilung nang datang tumatan Baritu
………………………………..
gasan anak cucu nang di tabing atau di banyu
tabing lawan banyu kita, urang Banjar
…………………………………
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
……………………………
Jangan hanayut ulih banyu nang karuh
Dingsanaku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
………………………..
Unsur air (banyu), perahu (jukung), rakit (lating/batang), enceng gondok (ilung), tebing atau tepian sungai (tabing) merupakan tradisi dari sebuah kebudayaan sungai yang sudah mendarah daging dan berurat mengakar pada masyarakat Banjar. Begitu pula saat proses mangariau dengan perilaku seorang pawang yang “bamamang” (membaca mantra), yaitu gambarannya dapat ia dilakukan di pinggir sungai dengan pakaian serba kuning, menaburkan beras kuning dan melarutkan atau memasukan ke dalam sungai kue-kue makanan khas Banjar sejumlah empat puluh satu jenis, bunga-bunga pria dan wanita “pitu” (tujuh) macam bunga, sebagai lambang kesempurnaan dan kelengkapan sesaji setelah menggenapkan semedi atau meditasi yang telah dilakukan. Hal tersebut secara logika dan akal memang tidak bisa diterima, karena hanya berupa pemborosan materi dan pembuangan energi belaka. Tetapi jika kita lepaskan jubah logika dan memandangnya dari kacamata paranormal, metafisik, dan parapsikologi akan terlihat suatu nilai harmonium yang relevan dengan hidup manusia yang mendambakan kesempurnaan. Sehingga hal ini dapat dipahami dan diterima oleh akal manusia itu sendiri.
Dalam proses mistis di atas, kita harus memahami dunia antologi mistis, dan harus meletakan mithe sebagai teks dasar yang harus dikaji dengan kesadaran tersendiri sehingga kita memandang dan memuat dunia makro yang berisi nilai multidimensi kemasyarakatan. Dunia mistik sendiri berdiri dalam batasan cukup transparan ia dapat dilihat dari kacamatan ilmiah dengan melibatkan pembuktian-pembuktian yang logis dan jujur dalam prosesnya (Joseph J. Weed 1991 : 17-27).
Mantra yang dimuat penyair dalam puisi kita anggap sebuah teks mistis. Teks ini harus dipandang sebagai miniatur refleksi kehidupan yang serba kompleks. Kalau kita renungi pesan-pesannya maka akan terlihat sebuah dunia yang sangat menarik tanpa memberikan pembatasan antara dunia angker/sakral yang identik dengan kesunyian, kesepian dan kegelapan dengan dunia nyata yang identik dengan warna-warni, hiruk-pikuk dan semangat yang menyala-nyala.
Dari hasil pengalaman di masyarakat kita akan dapatkan suatu mantra itu sesuai dengan tujuannya pawang atau orang yang menggunakannya. Karenanya mantra identik dengan tujuannya, yaitu bermacam-macam, seperti untuk mangariau naga tersebut. Bagi kita lepas dari masalah itu, kita melihat mantra itu hanya dari segi keindahan (estetika) dan permainan kata saja, juga dari segi bahasa kesusastraan itu sendiri.
Dari judul puisi ini yaitu Mangariau Naga di atas dapat kita artikan dengan "memanggil naga", tetapi kata “memanggil” dalam bahasa Indonesia jika disandingkan dengan kata dalam bahasa Banjar “mangariau” lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan konsepsi religi magi atau hal-hal gaib. Kata “mangariau” dalam kerangka bahasa Banjar tempo dulu adalah dari kata “kariaw” yang artinya tarikan gaib; mangariau artinya menarik secara gaib. Jika “kana kariaw” kena pengaruh gaib, kena guna-guna.
Sedangkan pengertian dari “naga” adalah berkaitan dengan suatu mitos dari beberapa kisah kosmos tentang seekor binatang (ular besar) yang juga dipercaya keberadaannya oleh sebagian masyarakat Banjar. Seperti kita dengar istilah dan ucapan orang-orang banjar tempo dulu, “naga” adalah naga; banaga-naga artinya ada naga (nya); bananagaan bernaga-nagaan, ada naga-nagaannya : tajau malawan rancak : belanga antik sering ada naga-naganya.
Dalam konsepsi religi Mangariau Naga berkaitan dengan hal-hal yang gaib melibatkan mantra dalam bahasa Banjar “Mamang” yang dilakukan dalam kegiatan ritual “mangariau” tersebut.
Mangariau Naga dapat dilihat dalam gambaran suatu kisah kosmos tentang naga orang Banjar, mite naga yang dipercaya menghuni sungai-sungai besar di wilayah Kalimantan Selatan yang masing-masing diberi nama naga sirintik dan naga siribut, menurunkan perilaku gaib bagi lingkungan kerajaan Banjar tempo dulu dan masyarkat Banjar tersebut. Gambaran hal ini dapat dilihat dalam kutipan Puisi sebagai berikut :
……………………….
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
bakalambu ujan panas marintik, basasajian
bapakaian saraba kuning, babaras kuning pawang
bamamang ;
“ barakat aksaraku tatinggi pada ikam
ikam kada mangariau ku aku nang mangariau ikam
uiii, sirintik siribut nang basisik habang sinang
babalang-balang
napa batapa di kalurungan
kada mayukah wadai ampat puluh satu macam
kambang laki-bini pitu macam”
lampah, darah alam jalallah
nang datang matan raden Samudra
sampai kakita.
…………………………….
Naga yang dimantrai (bamamang), dan dikariaw dalam Puisi ini memiliki dua pengertian yaitu : pertama, naga seperti yang terdapat dibalik misteri mitos gaib yang terjadi di sungai-sungai dan daratan Kalimantan Selatan. Kedua, pengertian naga sebagai substansi generasi muda penerus “banua” (nanang-galuh) yang harus digugah semangatnya agar menjadi lebih maju, tidak membiarkan diri larut dalam segala keadaan, sifat dan perilaku negatif yang disimbolkan dengan “banyu nang karuh”. Dengan mantra maka ia “dikariaw” seperti kutipan ini :
……………………………
Jangan hanyut ulih banyu nang karuh
Dingsanakku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
Tampulu kita baluman kakadapan.
Terlepas dari konteks logis atau tidak logisnya suatu pemikiran religi magi, mantra yang terdapat dalam puisi Mangariau Naga ini harus diselami dari dunianya, yaitu secara metafisik dan mistis. Secara mendasar dunia mistis ini memiliki lingkup tersendiri, menurut Joseph J. Weed (1991 : 18) kita memiliki sifat ganda terdapat dua unsur yang mengarungi sistem kita yaitu energi fisik dan energi rokh (energi batin), tidak ubahnya suatu sistem yang terdiri dari berbagai variabel kosmos dalam lingkup ruang gaib yang luar biasa dinamika, makna dan daya imajinasinya. Dunia yang dimaksud satu ini yaitu dunia yang meramu dua variabel yaitu irasional yang berada di luar batas jangkauan logika dan dunia logos sebagai suatu sistem konvensi kemampuan indra manusia.
Mantra “Mamang” dalam puisi ini yang juga berada dalam dunia mistis adalah sebagai suatu tanda bahwa penyair melakukan suatu langkah untuk melewatu suatu batasan dunia pada dimensi yang lain. Dimensi yang ditandai oleh pencarian identitas jati diri terhadap alam semesta beserta seluruh makhluk yang ada di dalamnya baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Manusia dalam prosesnya mencari suatu strategi untuk menemukan hubungan yang tepat antara manusia dan daya-daya kekuatan yang ada di alam semesta ini.
Dalam puisi ini dengan teradobsinya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat mistis ini, penyair memberikan suatu gambaran pemikiran di atas, yaitu alam pemikiran ontologis manusia mulai mengambil jarak terhadap segala/sesuatu yang mengitarinya. Penyair dalam posisi ini, tidak lagi sebagai seorang penonton prosesi, melainkan telah berusaha memperoleh pengertian daya-daya yang menggerakan alam dan manusia. Karena itu di sini penyair memulai suatu hubungan perenungan fisik dan alam irasional sebagai kaji-renung metafisik untuk selanjutnya dikedepankan sebagai nilai-nilai yang berharga dalam karya puisi tersebut.
Kata-kata “Mamang”, “Kariau”, dan “Naga” berada dalam lingkup dunia metafisik dan mistis. Jika diuraikan jalinannya berada dalam lingkup hidup dunia mitodologi. Dalam dunia seperti ini tidak ada garis pemisah yang jelas antara dunia realitas dan dunia maya dengan manusia, antara subyek dan obyek. Hubungan manusia dengan makhluk gaib dalam tahap tersebut bisa dikatakan sebagai suatu subyek, berupa lingkaran yang masih dapat dibuka dan diselami rahasianya, yang akhirnya bermuara kepada ketauhidan dari kekuasaan Tuhan.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Peursen (1995 : 124) yang menguraikannya sebagai ruang “Sosio-mistis” yaitu suatu lingkup daya kekuatan semesta yang ditentukan oleh pertalian antar suku (sosio) dan oleh sikap yang mistis-mistis. Inti dari sikap mistis tersebut, bahwa kehidupan ini ada, ajaib dan berkuasa. Penuh daya kekuatan. Dan dengan kesadaran tersebut timbulah cerita-cerita mistis.
Jadi pandangan akan “naga” ini bukan hal yang tidak rasional bila naga sebagai seekor binatang, menghadirkan kekuatan supranatural bagi kehidupan manusia. Hubungan alamiah dan adikodrati yang dapat menghantarkan eksistensi manusia pada cita-cita individual dalam masyarakat yang komunal.
Secara umum jika kita teliti ada konvensi dan keyakinan masyarakat umum yang mewarnai struktur mithe yang banyak tersebar di nusantra bahkan di dunia ini yaitu unsur dunia atas dan unsur dunia bawah sebagai asal penciptaan dunia mistis. Mitos Naga Banjar adalah merupakan salah sekian dari beragam ceritera yang berkembang di wilayah nusantara ini yang dapat kita lihat dalam tiap-tiap bagian masyarakat adat atau suku yang mendiami wilayah yang terbentang dari sabang sampai merauke ini.
Membaca konsep lanskap alam yang menjadi setting puisi ini, kita mengarahkan pada latar belakang penyair sebagai salah seorang masyarakat atau suku Banjar yang kehidupannya bermula pada proses dinamika alam Banjar, ia terlihat sangat dekat dengan lingkungannya terutama lingkungan sungai yang memang melingkupi seluruh kehidupannya. Pada masyarakat Kalsel sendiri pada umumnya sarana air dan sungai merupakan sarana aktivitas keseharian yang sangat dominan dan sangat vital. Kehidupan yang dimulai dari proses konsumsi, transportasi, ekonomi sampai kegiatan buang air besar dan kecil. Karena itu bagi penyair mantra-mantra yang dilakukan diarahkan pada kehidupan sungai ini. Ada beberapa kata dan kalimat dalam puisi tersebut yang berkaitan dengan dinamika sungai ini seperti kata-kata dan kalimat dalam kutipan puisi ini :
…………………………..
Di bawah kalas muha ari, di atas soklat sungai martapura
……………………………
Mangayuh tambangan tumatan muhara ka hulu
mananjak ilung nang datang tumatan Baritu
………………………………..
gasan anak cucu nang di tabing atau di banyu
tabing lawan banyu kita, urang Banjar
…………………………………
Limbah pikah ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh nangkaya mangayuh jukung basauh
……………………………
Jangan hanayut ulih banyu nang karuh
Dingsanaku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
………………………..
Unsur air (banyu), perahu (jukung), rakit (lating/batang), enceng gondok (ilung), tebing atau tepian sungai (tabing) merupakan tradisi dari sebuah kebudayaan sungai yang sudah mendarah daging dan berurat mengakar pada masyarakat Banjar. Begitu pula saat proses mangariau dengan perilaku seorang pawang yang “bamamang” (membaca mantra), yaitu gambarannya dapat ia dilakukan di pinggir sungai dengan pakaian serba kuning, menaburkan beras kuning dan melarutkan atau memasukan ke dalam sungai kue-kue makanan khas Banjar sejumlah empat puluh satu jenis, bunga-bunga pria dan wanita “pitu” (tujuh) macam bunga, sebagai lambang kesempurnaan dan kelengkapan sesaji setelah menggenapkan semedi atau meditasi yang telah dilakukan. Hal tersebut secara logika dan akal memang tidak bisa diterima, karena hanya berupa pemborosan materi dan pembuangan energi belaka. Tetapi jika kita lepaskan jubah logika dan memandangnya dari kacamata paranormal, metafisik, dan parapsikologi akan terlihat suatu nilai harmonium yang relevan dengan hidup manusia yang mendambakan kesempurnaan. Sehingga hal ini dapat dipahami dan diterima oleh akal manusia itu sendiri.
Dalam proses mistis di atas, kita harus memahami dunia antologi mistis, dan harus meletakan mithe sebagai teks dasar yang harus dikaji dengan kesadaran tersendiri sehingga kita memandang dan memuat dunia makro yang berisi nilai multidimensi kemasyarakatan. Dunia mistik sendiri berdiri dalam batasan cukup transparan ia dapat dilihat dari kacamatan ilmiah dengan melibatkan pembuktian-pembuktian yang logis dan jujur dalam prosesnya (Joseph J. Weed 1991 : 17-27).
Mantra yang dimuat penyair dalam puisi kita anggap sebuah teks mistis. Teks ini harus dipandang sebagai miniatur refleksi kehidupan yang serba kompleks. Kalau kita renungi pesan-pesannya maka akan terlihat sebuah dunia yang sangat menarik tanpa memberikan pembatasan antara dunia angker/sakral yang identik dengan kesunyian, kesepian dan kegelapan dengan dunia nyata yang identik dengan warna-warni, hiruk-pikuk dan semangat yang menyala-nyala.
Dari hasil pengalaman di masyarakat kita akan dapatkan suatu mantra itu sesuai dengan tujuannya pawang atau orang yang menggunakannya. Karenanya mantra identik dengan tujuannya, yaitu bermacam-macam, seperti untuk mangariau naga tersebut. Bagi kita lepas dari masalah itu, kita melihat mantra itu hanya dari segi keindahan (estetika) dan permainan kata saja, juga dari segi bahasa kesusastraan itu sendiri.
BIODATA PENYAIR NOOR AINI CAHAYA KHAIRANI
Sekedar mengenang dan mengingat kehadiran belau dihati, dan sumbangsing beliau dalam dunia sastra, jasa-jasa beliau terhadap penulis dan sahabat-sahabatnya yang lain, berikut ini adalah biografi singkat kehidupan pribadi dan kepenyairan beliau semasa hidup :
Noor Aini Cahya Khairani adalah penyair daerah Kalimantan Selatan yang berdomisili di Banjarmasin. Noor Aini Cahya Khairani dilahirkan di Banjarmasin tanggal 10 Januari 1959, meningal dunia hari Senin, 18 Agustus 2003. Masa kecilnya banyak dihabiskan di lingkungan keluarganya dekat dengan kehidupan sungai yang dekat dengan pasar terapung di daerah Kuin Utara Banjarmasin. Menyukai dunia tulis-menulis sejak tahun 1980, tetapi mulai benar-benar serius setelah tahun 1984. Puisi, cerita pendek dan esai sastranya dimuat diberbagai media masa seperti di Surat Kabar Merdeka, Swadesi, Bali Post, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Nusantara III Banjarmasin dan Majalah Sastra Budaya Horison.
Karya-karya Pengarang:
Dari segi karya-karyanya Noor Aini Cahya Khairani banyak menulis Puisi dan Cerita Pendek disamping beberapa essai dan tulisan sastra populer lainnya. Puisi-puisinya banyak terhimpun dalam antologi bersama, antara lain seperti dalam antologi : Forum Puisi Indonesia “87 (terbitan Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Antologi Puisi Sanggar Minum Kopi Bali (Bali, 1990), antologi LPPIA (Surabaya, 1992), antologi Refleksi 50 tahun Indonesia Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), antologi Puisi Indonesia (Komunitas Sastra Indonesia, Bandung, 1997), dan berbagai antologi puisi bersama penyair Kalimantan Selatan lainnya.
Setelah giat menulis sejak 1984, prestasinya dalam dunia sastra terus bertambah. Antara lain, Juara I Lomba Puisi Deppen-Depdikbud Kalsel (1985), Juara I Lomba Tulis Cerpen Bahasa Banjar Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel (1986), Juara I Lomba Tulis Puisi Bebas HIMSI Kalsel (1989) dan salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba cipta Puisi Se-Indonesia yang diadakan Sangga Minum Kopi (SKM) Bali (1990) Salah satu puisinya pernah terpilih sebagai puisi terbaik dalam lomba tulis puisi hari kebangkitan nasional. Juga puisi dan cerpennya berhasil meraih juara pertama dalam lomba yang diadakan oleh Himpunan sastrawan Indonesia Kalimantan Selatan. Puisi Mangariau Naga adalah salah satu puisinya dalam bahasa Banjar yang menjadi pemenang pertama dalam lomba tulis Puisi Bahasa Banjar Tahun 1999 yang juga diadakan HIMSI Kalimantan Selatan.
Tahun 1997 Noor Aini Cahya Khairani mengikuti Forum Puisi Indonesia ’87 yang dilaksanakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1997), pemakalah dalam diskusi sastra di Galeri Made Wianta di Denpasar (1990); peserta Temu Sastra Lembaga Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (LIPPIA) di Surabaya (1992,1994), Pekan Seni Daerah Banjar di Anjungan Kalsel di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta (TMII) Jakarta (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka di Solo (1995), Bedah Buku dan Diskusi Sastra Kepulauan II di Makasar (2000), Banjarmasin Performing Art di Banjarmasi (2001) dan Dialog Borneo-Kalimantan VII di Swiss-Belhotel Borneo Banjarmasin (2003).
Selain membacakan puisi di forum sastra lokal maupun nasional, ia sering diminta menjadi juri lomba membaca maupun mengarang puisi dan pemakalah dalam sejumlah sarasehan, seminar dan diskusi sastra. Tahun 1999 dianggap sebagai puncak prestasinya menjadi seniman khsusnya seniman seni sastra daerah Banjar, Noor Aini Cahya Kahirani menerima Hadiah Seni di bidang Seni Sastra dari Gubernur Kalsel.
MANGARIAU NAGA
(Karya Noor Aini Cahaya Khairani)
Di bawah kalas
muha ari, di atas soklat sungai martapura
di sasala sari
muha balai kota lawan layu kambang di subarangnya
tambangan titis
siparabayaksa pambawa pitua raden samudra
nangkaya
tahalang naga
maka pangeran
banjar cagar diarak kuliling banua.
Mangayuh
tambangan tumatan muhara ka hulu
mananjak ilung
nang datang tumatan Baritu
mangariau
sumangat nini datu
gasan anak cucu
nang di tabing atau di banyu
tabing lawan
banyu kita, urang Banjar
nang bau pudak
lawan batapung tawar.
Limbah pikah
ampat puluh satu pangayuh
limbah tapaluh
nangkaya mangayuh jukung basauh
bakalambu ujan
panas marintik, basasajian
bapakaian saraba
kuning, babaras kuning pawang
bamamang ;
“ barakat
aksaraku tatinggi pada ikam
ikam kada
mangariau ku aku nang mangariau ikam
uiii, sirintik
siribut nang basisik habang sinang
babalang-balang
napa batapa di
kalurungan
kada
mayukah wadai ampat puluh satu macam
kambang
laki-bini pitu macam
lampah, darah
alam jalallah
nang datang
matan raden Samudra
sampai kakita".
Jangan hanyut ulih banyu nang
karuh
Dingsanakku, hulu masih jauh
Ayu hancap kayuh tambangan
Tampulu kita baluman kakadapan.
0 komentar:
Post a Comment