Home » , , » ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KALIMANTAN PADA ZAMAN KUNO (+ ABAD I - 1500 M)

ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KALIMANTAN PADA ZAMAN KUNO (+ ABAD I - 1500 M)

ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KALIMANTAN  PADA ZAMAN KUNO (+ ABAD  I - 1500 M)

1. Perkembangan Agama

Kiranya tidak akan berapa jauh perkiraan kita bahwa sejak zaman bercocok tanam, berkembang dasar pemujaan nenek moyang yang kemudian membentuk dasar-dasar agama Kaharingan.

Dasar yang ada bersifat serba dua mengenai alam, yaitu membagi alam menjadi alam atas dan alam bawah. Alam atas dikuasai Ilah yang disebut bermacam nama yaitu :

a.Tingeng atau Bungai,nama burung sakti, jantan dan terkenal dalam mytologi dayak.
b. Raja Tongtong Mantandau, atau raja penjuru matahari.
c. Mahatara (Maha Barata)
d. Mahatala (Alatala).

Yang dua terakhir menunjukan telah menggunakan istilah dari agama Hindu dan Islam. alam bawah dikuasai Ilah yang bersifat betina tersebut. 

a. Tambon, naga atau ular sakti
b. Jata atau Biwata.

Ilah alam bawah melambangkan kesuburan dan sersifat keibuan.

Mitologi penciptaan alam dunia dan manusia mengatakan bahwa semua yang ada ini diciptakan oleh Mahatara dan Jata bersama-sama dan diatur bersama-sama pula. Keduanya merupakan suatu kedwitunggalan (eine Einheit der Zwejheit). Totem emblim Mahatara adalah Tingang dengan tumbak dan untuk Jata, Tambo dan keris.

Ilah Dwitunggal ini mencerminkan sifat alam yang serba dua dalam ketuggal, seperti baik-buruk, putih-hitam, terang-gelap dan seterusnya, semua melukiskan sifat etis-religius yang ambivalen. Ilah Dwitunggal ini dengan sifat serba dua tadi memanifestasikan diri dalam sifat-sifat yang dilaksanakan oleh Ilah-ilah pengantara. Yang kedua ini mewujudkan karakter etis-religius yang ambivalen dai Ilah Dwitunggal tadi. Dalam tiap upacara baik peserta maupun pemimpin upacara terlibat dalam pengelompokan-pengelompokan ini. Balian pendeta wanita itu disebut Naga yang berohkan garuda.

Dalam pemikiran religius sehari-hari Ilah-ilah Dwitunggal ini digambarkan secara antropomorfis sekali, sebagai laki-laki dan wanita. Berhubungan dengan Ilah tertinggi melaksanakan melalui ilah pengantara. Ilah-ilah ini dipimpin lima raja yang masing-masing jadi raja dalam kelompok Ilah-ilah tertetentu yaitu :

a. Ilah Kilat atau Raja Pali bertindak dalam penyelenggaraan adat dan hukum pali.
b. Raja Ontong memberi rejeki, kekayaan dan kemakmuran.
c. Raja Sial mendatangkan kengerian, kekejaman, kecelakaan, musibah dan sebagainya.
d. Raja Hantoen, memberi segala kerusuhan, pengrusak, mengganggu , meminum darah manusia.
e. Raja Peres penyebar epidemi.

Merek berlima ini memberi sejumlah Ilah yang lebih rendah yaitu roh baik dan roh jahat yaitu :

a. Roh Baik
1. Tempon Telon, pengantar roh orang mati ke akhirat.
2. Sangumang, pembantu orang dalam kesukaran.
3. Antang, si pemberi tanda dan perlindungan
4. Jarang Bawahan, si pemberi kekuatan dan kepahlawanan

b. Roh Jahat
1. Kuntilanak
2. Karian, Orang halus menyesatkan orang di hutan.
3. Kloe, penjaga tanah keramat
4. Kukang, yang menguji/menghalangi roh yang sedang ke alam baka (Lewu Lisu).

Arwah nenek moyang cakal bakal adalah penjaga tradisi dan adat disebut Nanyu Sanjang. Mereka berada di alam baka dan bisa dipanggil membantu yang hidup, menjaga kampung, melindungi sungai atau keluarga. Tempat pemujaan pada pohon, batu atau patung.

Dalam mitologi Dayak juga dilukiskan mengenai pohon Hayat yang disebut Batang Garing. Pohon hayat ini mewujudkan kesatuan manifestasi alam atas dan bawah, unsur jantan dan betina, baik dan jahat, hidup dan kematian. Ia melambangkan totalitas kosmos, tapi juga dualisme religius; sifat antagonistis ini selalu muncul dalam mite penciptaan, perulangan historis, terlukis dalam ritus dan kultus Tafsiran dalam kepercayaan khusus tentang jiwa alam baka, dan makna ritus kematian menggambarkan adanya harapan-harapan eskatologis, kepercayaan itu beranggapan bahwa jiwa manusia setelah meninggal mengalami proses khusus dalam kepergian ke negeri roh, dan tersimpul dalam upacara ritus yang kompleks.

Di alam baka arwah itu menikmati sumber air Kahuripan (danum kaharingan) dari pohon hayat, hingga hidup "Abadi" dalam artian lama penuh kenikmatan, tapi bila daya hidupnya habis, barulah ia menemui kematian dua. roh-roh ini kedua lagi dalam bentuk cendawan, buah-buahan, bunga untuk dapat dilahirkan kembali melalui manusia.

Bila seseorang meninggal ia dikubur seperti biasa. Roh ini diantar ke tempat peristirahatan sementara. Ia menunggu ritus kematian sempurna seperti tiwah (Ngaju), pembakaran menyujikan ia dari sifat keduniawian dan menobarkan mereka jadi Sang-Hyang. Tulang-tulang dibakar dalam Gunung Pidudusan Hyang.

Kematian tidak lain dari sejenis perpindahan kehidupan. Ritus kematian membantunya mencapai tempat tujuan terakhir yang sempurna dan melindungi yang masih hidup, dari roh-roh yang belum disempurnakan perjalannya. Semakin lengkap, sempurna dan mahal upacara tersebut, semakin tinggi kedudukan Hyang ini di alam baka dan semakin cukup berbekalannya.

Agama asal ini kemudian mendapat pengaruh-pengaruh dari agama yang kemudian masuk, terutama agama Siwa. Agama Budha kemungkinan masuk terlebih dahulu dari agama Siwa. Istilah pitara mahatara, pohatara jelas berasal dari Mahabarata. Demikian pula situs tiwah dan ijambe di mana tulang-tulang ini dibakar sebagai ritus penyempurnaan kematian menjadikan arwah tersebut Hyang, seperti upacara Sraddha pembakaran tulang-tulang tersebut maksudnya agar kembali suci dan menjadi Siwa, raja pelindung negara. Agama Siwa berkembang dan membawakan pembaharuan yang dikembangkan oleh raja pertama negara Daha.


0 komentar:

Cari Artikel