Home » , , , » MENGENAL LEBIH DEKAT SENI PANTUN BETAWI JAKARTA

MENGENAL LEBIH DEKAT SENI PANTUN BETAWI JAKARTA

Indoborneonatural---kalau dalam kebanyakan cabang kesenian Betawi kita mengenal pemetaan, misalnya Cokek digemari dibeberapa tempat, tetapi tidak di suatu tempat tertentu. Begitu juga halnya dengan topeng, acel, samrah. Wilayah pendukung budaya pantun merata diseluruh jagat Betawi, dan merasuk ke suluruh strafikasi sosial Betawi apakah golongan mu'alim, nelayan dan pelele, orang nani' orang pangkat-pangkat, panjak maupun bangsa buaye dan bergajul. KOnon dikalangan anak-anak muda. Hampir semua jenis permainan anak-anak adalah pantun yang dinyanyikan. Dalam bahasa Kreol ada istilah 'Capriho', berbalas pantun. Caprinho dalam bahasa Minangkabau menjadi 'kaprinyo'. 

Struktur pantun Betawi tidak mutlak empat baris, bisa kurang, dan bisa lebih. Tetapi umumnya pantun Betawi masih sama dengan daerah lain, yaitu empat baris, dimana dua baris pertama berisi sampiran, dan dua baris berikutnya adalah isi.

Pantun betawi yang beredar dikalangan anak-anak dan remaja, strukturnya tidak teratur. Kalau terdiri dari tiga baris, maka baris pertama adalah sampiran dan dua baris lainnya adalah isi. Pantun yang strukturnya lebih dari empat baris, umumnya sulit dibedakan mana sebenarnya yang murni sampiran, dan mana yang termasuk isi.

Sahabat indoborneonatural sekalian, jika kita cermati lebih dalam, Sampiran pantun Betawi kadang-kadang berupa kata-kata bunyi-bunyian saja yang secara harfiyang tidak punya makna. Tetapi sangat mungkin sampiran seperti ini berasal dari mantera lama. Semangat pantun betawi, baik sampiran maupun isinya, biasanya cukup menyegarkan.  Tak banyak yang mengandung nasehat, tetapi umumnya sindirian, tetapi juga dapat sekedar hiburan. 

Benyamin S Seniman Betawi

Siapa pencipta pantun Betawi ?

Seperti halnya dengan jenis kesenian rakyat lainnya, nama-nama pencipta pantun tidak pernah diketahui dan belum jelas asal usul awal orang yang membuatnya, kecuali keberadaannya yang sudah ada di masyarakat. Pantun telah lama beredar lewat budaya oral dan seni bertutur yang ada dimasyarakat Betawi. Berikut ini contoh-contoh pantun dan lingkungan stratifikasi sosialnya; 

Pantun Kalangan Mu'alim

Ya Allah ya Rabbi
Nyari untung biar lebi
Biar bisa pergi haji
Jiarah kuburan Nabi

Pantun ini berisi motivasi untuk semangat mencari nafkah dengan motivasi ibadah, yaitu menjalankan ibadah haji di kota suci Mekah. 

Dua pantun berikut ini berlatar belakang suasanan kehidupan murid-murid pengajian. Pengertian murid adalah mereka yang sedang menuntut ilmu agama. Istilah "santri" tidak populer di masyarakat Betawi. Dua pantun berikut kemungkinan besar diciptakan oleh seorang ustadz;

Indung-indung kepala lindung
Ujan di laut di sini mendung
Anak siape pake kerudung
Mata ngelitik kaki kesandung

Ayun -ayun Siti Aise 
Mandi di kali rambutnya base
Tidak sembayang tidak puase
di dalam kubur ade nyang sekse

Kalangan mu'alim (dalam konteks berikut ini kata ini penulis gunakan setara dengan terminologi "golongan santri" yang digunakan Clifford Geertz dalam The Religion of Java) tidak menyukai cara-cara hidup orang panjak (enterteiner seperti seorang tukang gambang, cokek, dll-nya). Mereka berpendapat pola kehidupan panjak "enggak diredoin Tuhan" (tidak dirodhoi Tuhan.

Bagi mu'alim seorang panjak itu kurang mendapat bimbingan agama. Seorang ulama Betawi dari Matraman K.H. Ali Al Hamidy pernah mengisahkan seorang panjak gambang ini ahli membuat pantun, kini ia terbaring menunggu ajal dikerumuni sanak saudara. Dalam saat seperti ini menjadi kebiasaan yang hidup di Betawi menyeru kepada orang yang mau meninggal itu agar "nyebut". Maksudnya, mengucapkan dua kalimat Syahadat. Keluarganya berseru, "Be, nyebut dong, Be". Tapi si panjak gambang ini diam saja. Setelah tetanggapun berdatangan dan menyuruh agar si panjak "nyebut", maka tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan duduk di kasur menghadap kerumunan orang. Ternyata ia berpantun, begini; 

Bujug, kenapa sih elu pada ribut
Kapan pikiran gue lagi kalang kabut
Jantung gue pengen nyoplok rasa bat-bit-but
Nah nyawa gua mau dicabut

Pantun nelayan

Pantun nelayan Marunda berisi kegetiran hidup. Kehidupan yang berat sebagai nelayan, terutama menghadapi musim barat dimana angin bertiup kencang tidak memungkinkan mereka melaut. Mereka mengatakan jadi nelayan bukan permainan, artinya bukan sembarangannya, karena nyawa yang menjadi taruhan.

Musim barat
Kita melarat
Musim timur
Kita makmur

Dari jembatan tinggi ke pengasinan
Jalannya nenggar jarang pepohonan
Tukang sero tukan nelayan bukan permaenan
Siang kepanasan malam keembunan.



0 komentar:

Cari Artikel