Home » , , » SEKILAS TENTANG PROLOG PENYEBAB SEJARAH PERANG BANJAR

SEKILAS TENTANG PROLOG PENYEBAB SEJARAH PERANG BANJAR

Indoborneonatural----Perang banjar adalah salah satu cetusan di dalam rangkaian perlawanan bersenjata bangsa Indonesia menolak penjajahan. Ia menjadikan satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan terutama di dalam abad ke 19 itu, seperti di Palembang pada tahun 1819 sampai tahun 1822; di Minangkabau (Perang Padri) yang pecah pada tahun 1821; perang  Diponegoro (1825 - 1830); perang Bali (1846 - 1849); pertempuran di Montrado (1854); Perang Aceh (1873 - 1899) dll.


Seperti dimaklumi perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah, telah meletus sejak kedatangan bangsa Asing di Indonesia. Bangsa Asing itu bertujuan mula-mula melakukan perdagangan, ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tetapi kemudian ingin menancapkan kuku penjajahan. Disamping itu mereka juga mencoba menyebarkan  agama yang mereka peluk 

Bangsa Portugis yang datang diakhir abad ke 16 telah mulai mencoba menanamkan kekuasaan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan, tetapi tidak berhasil. Ia hanya berhasil mendapatkan kedudukan di Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya dan dapat memaksakan hak monopoli di dalam perdagangan rempah-rempah kepada Sultan Tenate dan merebut kesempatan mengembangkan agama Kristen di Banda dan Ambon di bawah pimpinan pendeta Xaverius.


Pada akhir abad ke 16 itu datang bangsa Sepanyol, Inggeris dan Belanda yang tertarik terutama oleh perdagangan rempah-rempah dan hasil-hasil kekayaan Indonesia. Antara bangsa-bangsa yang datang ini timbul persaingan dan kadang-kadang memuncak menjadi pertempuran antara mereka.

Belanda mula-mula datang di Indonesia padatahun 1596 dengan empat buah kapal di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan De Keyzer yang menjadi milik Compagnie van Verre. Baru saja mereka berlabuh di Banten, telah terbit pencederaan dengan rakyat Banten dan dengan bangsa Portugis. Ia terus bertualang dipelabuhan-pelabuhan di Jawa dan akhirnya kembali ke Negeri belanda dengan memuat hasil-hasil bumi Indonesia. Walaupun ketika berangkat dengan 4 buah kapal beranak buah 249 orang, dan tiba kembali kenegeri Belanda pada bulan Agustus 1957 dengan anak buah bersisa 89 orang, namun mereka disambut di negaranya sebagai pahlawan. Karena yang penting bagi belanda jalan ke Indonesia telah ditemukan.

Sejak itu mulailah membanjir kapal-kapal Belanda ke Indonesia. Dan pada awal abad ke 17, Belanda telah mulai mendirikan kantor-kantor dagang Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di daerah Banjar.


Pertikaian pertama antara Rakyat di pimpin Sultan Banjar (Sultan Suriansyah) disatu pihak dan Belanda dilain pihak, telah terjadi pada tanggal 14 Februari 1606 dengan terbunuh mati nakhkoda kapal Belanda ( Gillis Michielszoon ) di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan pamer kekuatan (show of force), beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara tiba-tiba telah menyerang dengan melakukan perusakan dan pembakaran didaerah Banjar. Pusat pemerintahan terpaksa sementara berpindah ke Telok Selong.

Di sekitar tahu 1623 ibukota kerajaan Banjar dipindahkan kedaerah Martapura, yang mula-mula lebih terkenal dengan sebutan Kayu Tangi atau Bumi Selamat.

Pertikaian bersenjata memuncak lagi, ketika di dalam tahun 1638 selain telah dipanah mati seorang Assiten Belanda di Banjar - Anyar, juga telah mati terbunuh di dalam suatu pertempuran 64 orang bangsa Belanda. Sebagai pembalasan atas kematian itu, Belanda mengirim kapal Delft dan De serpant menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan dengan penganiayaan-penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, yaitu membunuh dan menyiksa tanpa perbedaan laki-laki, perempuan, anak-anak dengan memotong hidung, telinga, tangan kanan, kaki kiri, mencungkil mata kanan, memotong sebagian lidah, memotong kelamin dan merampas segala harta benda. Kapal De Serpant telah melakukan pembunuhan dengan penganiayaan kejam itu atas 27 orang di Martapura yang kemudian para korban dikirim ke Martapura. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan orang orang Martapura dan ia dianggap tantangan (challenge, uitdaging) oleh Rakyat Banjar telah dapat pula melakukan pembalasan menewaskan saudagar Belanda beserta 40 orang anak buahnya.


Belanda pada ketika itu sangat marah dan memrintahkan kekejaman selain dari apa memblokade seluruh pantai juga "hatzij in de furie of met koelen bloede" membunuh setiap orang Martapura dan Kotawaringin.

Barulah di dalam tahun 1660 atas permintaan Kompeni (V.O.C) sendiri, diadakan persetujuan (Accoord), yang oleh pihak Belanda sendiri diakui suatu perjanjian bagi bangsa Belanda kurang terhormat (weinig eer aandeed).

Demikianlah sejak tahun 1660 sampai akhir abad ke 18, walaupun telah ada perjanjian-perjanjian namun di banua banjar tidak pernah sunyi dan selalu terdengar dentuman senjata dan raungan kematian dari pertempuran di tanah banjar.   

Di dalam tahun 1787, Kompeni Belanda dibawah pimpinan Resident walbeck secara licik melancarkan lagi politik "divide et impera" nya politik memecah belah dan menguasai . Dengan mempergunakan suasana kekalutan pertikaian keluarga di dalam kerajaan Banjar dan mengorbankan pertetangan antar suku. Belanda berhasil memancing di air keruh. Memanfaatkan kisruh suksesi di lingkungan kerajaan banjar.

Setelah sultan Tahmidillah (Pangeran Mohammad) meninggal pada tahun 1785, maka terjadi sengketa takhta kerajaan. Pangeran Nata, Wali sementara dari anak-anak raja (Pangeran Rakhmat, Pangeran Abdullah dan Pengeran Amir) ingim berahan memerintah. Sebagai keturunan Sultan Sepuh, ia merasa berhak pula menjadi raja. Wasiat raja menghendaki anak yang kedua bernama Pangeran Abdullah supaya dinobatkan. Disamping ini Pangeran Suria (saudara Pangeran Nata) berusaha pula menjadi raja.

Pangeran Rakhmat dan Pangeran Abdullah tewas, Pangeran Surya  terusir keluar dari daerah, sedangkan Pangeran Amir mencari bantuan Raja Pagatan hendak mengepung Martapura. Pangeran Nata yang menobatkan diri bergelar Sultan Sulaiman Saidullah, yang kadang-kadang juga disebut Sultan Tahmidillah II, berusaha meminta bantuan pihak Belanda. Pihak Belanda menambah memupuk perpecahan sambil menakut-nakuti bahwa tentara Raja Pagatan, Pasir dan Pulau Laut akan datang menyerang besar-besaran. Sebenarnya Pangeran Amir telah membatalkan niatnya melakukan serangan besar-besaran itu demi menghindari pertumpahan darah antar-keluarga dan tidak ingin mengorbankan rakyat banyak. Beliau segan berperang dihadapkan dengan anakndanya sendiri pangeran Masahat.

Penjajahan Belanda dengan penggergotan kedaulatan kerajaan Banjar dirasakan semakin pedih benar, terlebih ketika didalam tahun 1852 Pemerintah Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Raja Muda "troonopvolger" yang merangkap Mangku Bumi "rijksberstierder" Pengangkatan ini sangat bertentangan dengan adat turun temdurun kerajaan. Jika mengikuti adat-istiadat itu, maka Pengeran Hidayatullah yang semestinya berhak menjad Raja Muda "Putera Mahkota".

Pangeran Hidayatullah

Sultan Adam dan Rakyat semula telah bermufakat berusaha ke arah penobatan Pangeran Hidayatullah sebagai Raja Muda. Selain beliau dianggap paling berhak, juga dianggap paling berbakat dan berwatak untuk menduduki kedudukan yang tertinggi itu. W.A. Van Rees Sendiri melukiskan dalam bahasa Belanda yang terjemahannya sebagai berikut :
"Menurut adat, yakni norma-norma hukum yang umum dimana-mana, penggantian Raja berdasarkan garis keturunan yang lurus; tidak ada orang lain yang berhak dapat menjadi pengganti Raja selain Hidayatullah.

Sumber: Di rangkum dari Buku Perang Banjar oleh H.G. Mansyur. S.H. 1979 

0 komentar:

Cari Artikel