Home » , , » SEJARAH KERAJAAN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

SEJARAH KERAJAAN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Indoborneonatural----Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di kalimantan yang dapat mempersatukan beberapa kerajaan kecil di wilayah Kalimantan seperti Kerajaan Paser dan Kerajaan Kutai di kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat. Kerajaan Banjar juga mempunyai sejarah cukup panjang, karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam, yaitu masa yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha.

Sesuai tutur Candi (Hikayat Banjar Versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga derah ini digabung ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860:

1.Keraton awal disebut Kerajaan Kahuripan.
2.Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3.Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha.
4.Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5.Keraton IV disebut Kerajaan Martapura
6.Keraton V disebut Pagustian.

Kerajaan Banjar Islam merupakan salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan. Hingga saat ini terdapat kontropersi di kalangan ahli sejarah mengenai kapan Islam masuk ke Kalimantan Selatan. Paling tidak ada dua aliran besar tentang ini :Pertama kalangan yang mengatakan bahwa Islam masuk sebelum pasukan demak tiba di Banjarmasin; Kedua, golongan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalimantan Selatan setelah Kerajaan Daha berhasil direbut oleh Pangeran Samudera bersamaan dengan pasukan militer Kerajaan Islam Demak.

Sejarah Berdirinya Kesultanan Banjar

Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk setempat yang terdiri dari suku Maayan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudain membentuk bahasa Banjar Kalsik.

Di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.

Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tetapi buka keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam praktiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmia, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah Arca ini.

Ketika Ampu Jatmika meninggal dunai, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebag mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.

Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketia Sukarama meninggal, Ia berwasiat agar cucunya Raden Samudra yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudra kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudra kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Diantara desa-desa tersebut adalah, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkambungan Melayu yang dibentuk oleh liam buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pegeran). Semua anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.

Orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh karena itu, desa Banjar disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari mengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.


Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat. Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudra, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, ytang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan Banjar.

Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudra mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini ekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agam Islam. Atas bantuan Demak, Pangeran Samudera behasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.

Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agam Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) diIslamkan oleh wakul penghulu demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu Jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampa ia meninggal dunai, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telam membuka era baru di Kerajaan Banjar dengam masuk dan berkembangnya agam Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.

Dalam perjalannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan Banjar atau keraton Banjar harus berpindah-pindah dari stua tempat ketempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataannya yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti khatib Dayan, serta maka keluarga Sultan Suriansyah sendiri.

Tidak atau belum diktemukan serta diketahui dimana lokas Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau recearch questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya.

Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilakukan, dengan melakukan kerja kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, maka diharapkan dapat mengak tabi yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya.
Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada Islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat.

Masuknya Islam berlangsung dengan damai dikawasan ini melalui tangan pedangang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir.

Disamping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pe-muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur ini Pengeran Samudra mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudra sendiri kemudain masuk Islam dan mengganti namanya menjadi sultan Suriansyah. Sekaligus berdiri pada haru Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Kerator pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemu di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makan Sultan Suriansyah dan para tokoh sejaman seperti khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.

Raja-raja Kerajaan Banjar

1. 1526 – 1545: Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
2. 1545 – 1570: Sultan Rahmatullah
3. 1570 – 1595: Sultan Hidayatullah
4. 1595 – 1620: Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton ke kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612.  
5. 1620 – 1637: Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6. 1637 – 1642: Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
7. 1642 – 1660: Adipati Halid memegang jabatan sebagai wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus kesuma belum dewasa.

8. 1660 – 1663: Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati anum (Pangeran Suriansyah) merebutk kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin.

9. 1663 – 1679: Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.

10. 1679 -1700: Sultan Tahlilullah berkuasa
11. 1700 – 1734: Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning.
12. 1734 – 1759: Pangeran Tamjid bil Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah.
13. 1759 – 1761: Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
14. 1761 – 1801: Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putra Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.

15. 1801 – 1825: Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
16. 1825 – 1857: Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
17. 1857 – 1859: Pangeran Tamjidillah
18. 1959 – 1862; Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina
19. 1862 – 1905: Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar.

Kesultanan banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelum kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.

Sumber : 
- Wikipedia.com
- Buku asal usul kerajaan Banjar Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kalsel Tahun 2001

0 komentar:

Cari Artikel